Relasi KDRT dan "Inner Child" yang Terluka
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah sebuah hubungan sosial yang tidak sehat dalam ranah domestik. Sayangnya, permasalahan ini belum sepenuhnya disoroti secara serius melalui kaca mata publik. Saking meresahkannya, permasalahan ini secara pribadi saya sematkan dalam The Top 3 Life Toughest Questions. Mendampingi dua pertanyaan misterius lainnya, yaitu, "Mengapa kita terlahirkan ke dunia sebagai manusia?" dan "Air sebenarnya asalnya dari mana?".
Nah, definisi KDRT sendiri dapat dipahami sebagai perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga. Termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Pengertian KDRT tersebut termaktub dalam Undang-udang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Tahun 2004, pasal 1 UU Nomor 23.1
Design credit to@gstraiwiguna |
Dengan kata lain, segala tindakan yang membuatmu kehilangan hak-hak sebagai manusia atau merusak potensimu untuk bertumbuh dan berkembang, dan juga menimbulkan dampak kesengsaraan di dalam kehidupan rumah tangga dapat di golongkan dalam kasus KDRT.
KDRT nyatanya dapat menimpa siapa pun, baik disadari maupun tidak. Berdasarkan UU PKDRT, korban KDRT bisa berupa anak, istri, suami, pembantu rumah tangga, dan siapa pun yang
mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga tersebut.
Pertanyaan paling mendasar yang membuat saya penasaran adalah jika benar kasus KDRT semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun, lantas apa motivasi para pelaku? Apakah terdapat keuntungan tertentu sehingga orang-orang begitu berhasrat untuk melakukan aksi KDRT? Atau jika bukan demikian, lantas adakah akar permasalah penting lainnya yang mungkin luput dari pantauan kita bersama?
Design credit to@thefbinegotiator |
Ada kalanya saya berpikir bahwa menyelamatkan calon korban sekaligus pelaku potensial KDRT jauh lebih masuk akal dan simpel di bandingkan menyelesaikan kemelut setelah kekerasan itu terjadi. Ingat kata pepatah.
"Mencegah lebih baik dari pada mengobati."
Jadi, jika kasus KDRT ini sejatinya dapat dicegah, maka kita tidak perlu pusing memikirkan solusi kdrt macam apa yang mesti ditempuh demi menyelamatkan para korban. Bagaimana jika sebenarnya terdapat cara untuk menyelamatkan seseorang, terutama perempuan dan anak, jauh sebelum mereka menjadi korban KDRT? Dan bagaimana jika pada dasarnya juga terdapat cara yang mampu mencegah seseorang menjadi pelaku KDRT di masa depan?
Lantas, bermodalkan sebuah quote yang cukup masuk akal, saya pun mencoba membangun sebuah hipotesis. Adapun sempena bijak yang saya gunakan adalah sebagai berikut.
"Hurt people, hurt people."
Biasanya orang yang terluka, disadari atau tidak, ikut kembali melukai orang lainnya. Luka emosi yang dirasakan berulang-ulang dikarenakan bentukan sosial ala-ala patriarki. Luka batin turun temurun yang tumbuh subur karena tak pernah diberi waktu untuk sembuh. Luka-luka dalam diri seseorang yang berubah menjadi tindak kekerasan hanya karena mereka tidak tahu bahwa sungguh terdapat pilihan yang lebih baik.
Design credit to@gstraiwiguna |
Derita tersembunyi "sang manusia kecil" yang tak kunjung pulih. Kebingungan yang kian hari bertambah parah. Luka-luka masa kecil yang lupa diobati, mengganas, hingga menjelma dalam tindakan berulang bak "rantai setan" yang dikenal dengan sebutan KDRT.
Oleh karenanya, kali ini saya mencoba menawarkan sebuah opsi pencegahan KDRT melalui pengobatan luka-luka emosi masa lalu. Sebuah usaha memahami dan memenuhi kembali kebutuhan emosi belia alam bawah sadar para manusia dewasa (inner child).
Kampanye Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
"INNER CHILD" YANG TERLUKA
Kita semua mungkin saja setuju bahwa tekanan sosial atau perekonomian memberi imbas gangguan kesehatan psikologi yang mendasari perilaku kekerasan di dalam rumah tangga. Namun, perlu juga kita sadari bersama bahwa terdapat sebuah perkara lain yang mungkin saja mendominasi perilaku kekerasan yang diatur sejak di alam bawah sadar manusia. Hal itu kita kenal dengan sebutan kenangan alias memori.
Sebagai manusia, semenjak kecil, kita mulai belajar mengenali ragam hal di sekitar kita dengan meng-copy-paste tingkah dan laku orang-orang terdekat. Sehingga tak jarang, persepsi kita tentang seseorang atau satu golongan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan yang tersimpan dalam memori alam bawah sadar.
Katakanlah, ketika seorang anak laki-laki tumbuh bersama seorang Ayah yang keras, kasar, dan suka melakukan penyiksaan. Anak yang tumbuh dalam lingkungan demikian akan mengira bahwa tindakan dan pemikiran sang Ayah adalah hal yang wajar dan benar. Sehingga, memori kolektif sang anak akan mengarahkannya untuk mengulangi kekerasan serupa kelak ketika dewasa.
Design credit to@gstraiwiguna |
Demikian juga, ketika seorang anak laki-laki yang tumbuh bersama seorang ibu yang memiliki harga diri yang rendah dan sering menerima siksaan serta diskriminasi dari suaminya, maka sang anak bisa jadi berpersepsi bahwa demikianlah seharusnya perempuan diperlakukan.
Atau justru jika sang anak tumbuh bersama seorang ibu yang begitu narsis dan kasar, maka ia akan membawa luka-luka tersebut hingga dewasa. Sehingga kelak ia berpotensi menjadi laki-laki dewasa dengan sindrom kebencian terhadap perempuan alias misogini.
Design credit to@gstraiwiguna |
Benar bahwa kita tidak dapat memilih terlahirkan di mana dan melalui siapa. Benar pula bahwa terkadang sulit bagi kita untuk menolak seutuhnya paparan luka-luka emosi dari lingkungan sekitar dan orang tua. Namun, memori kolektif buruk tersebut tidak serta merta membenarkan kita untuk melukai orang lain. Sebab, kesembuhan diri itu seutuhnya menjadi pilihan dan tanggung jawab kita pribadi.
Karena di balik segala kekacauan kenangan semacam itu, layaknya film, memori
manusia nyatanya dapat direka ulang. Luka-luka emosi yang telah dipendam
menahun bisa pula disembuhkan dengan segenap usaha. Serta,
kenangan-kenangan buruk bisa kembali dibentuk menjadi lebih baik dengan
menggeser perspektif melalui terapi dan ilmu pengetahuan.
Maka, untuk mulai mengobati luka-luka inner child kita, langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menerima secara sadar luka tersebut, mengganti perspektif kenangan, dan menyembuhkan diri perlahan-lahan. Seperti pesan yang diutarakan Master Yoda.
Learn-Unlearn-Relearn
Belajar-Lupakan-Pelajari Ulang.
Hanya dengan cara seperti itu kebutuhan inner child kita yang terabaikan dapat terpenuhi kembali. Hanya dengan menyembuhkan diri serta memahami hal apa yang salah dan harus diperbaiki, manusia bisa kembali bertumbuh. Hanya dengan menjadi manusia yang tidak kehilangan "inti dirinya"—kemampuan untuk mencintai dan dicintai tanpa menyakiti—yang menjadikan mereka berani melepas tindakan kekerasan untuk hidup di muka bumi. Hanya dengan kesadaran itu, manusia mampu untuk tetap hidup sebagai manusia.
CARA MENYEMBUHKAN LUKA "INNER CHILD"
Inner child adalah bagian dari diri seseorang yang terbentuk dari pengalaman dirinya di masa kecil. Inner child bisa membentuk kepribadian seseorang saat dewasa karena pengalaman masa kecil yang tidak hilang.
Dalam buku The Art of Listening, Fromm memaparkan bahwa pertumbuhan manusia yang utuh membutuhkan syarat-syarat tertentu. Seperti memperoleh perlindungan, rasa aman, kasih sayang, penerimaan diri, perhatikan, merasa didengarkan, dan sebagainya.
Design credit to@gstraiwiguna |
Nah, ketika syarat-syarat dasar tersebut tidak terpenuhi, maka manusia tidak langsung mati. Namun mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang bengkok. Mereka akan menjadi seorang dewasa yang memuja nafsu-nafsu irrasionalnya. Nafsu-nafsu itu tumbuh dari hasil persyaratan pertumbuhan yang tidak terpenuhi. Irasional yang dimaksud di sini adalah segala bentuk perbuatan atau tingkah laku yang memperlambat pertumbuhan atau bahkan menghancurkan laju perkembangan diri atau manusia lainnya. 2
Oleh karenanya, jika memang di antara kita ada yang menyadari bahwa dirinya memiliki ciri-ciri inner child yang terluka, maka hal itu merupakan permulaan yang baik. Kesadaran diri merupakan sebuah langkah awal perbaikan hubungan sosial yang mengagumkan. Belum terlambat untuk sembuh dari potensi melakukan kekerasan pada diri sendiri maupun orang-orang sekitar.
Kita bisa memulainya dengan mencoba memahami dasar-dasar kebutuhan emosi kita sendiri. Masih ada cara untuk mengedit kembali alam bawah sadar yang terluka. Artikel 5 Cara Ampuh Mengungkapkan Perasaan dan Emosi bisa menjadi jalan pembuka pemahaman perasaan kita. Masih ada kesempatan untuk mencoba kembali memperbaiki keadaan.
Kontak Pengaduan Kasus Kekerasan Wilayah Aceh
Dengan sepenuh hati, saya berdoa agar kita mampu berproses untuk lekas sembuh dari luka-luka inner child kita sebelumnya. Semoga kita lekas pulih dan mampu kembali berbahagia.[]
Reference:
1) http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt.html
2) Erick Fromm, The Art of Listening: Kritik atas Psikoanalisa Simund Freud, h.118.
0 Response to "Relasi KDRT dan "Inner Child" yang Terluka"
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)