Jasa Facial Tradisional dan Pijat (Body Massage) Tersertifikasi Provinsi Aceh

Jumat siang, 6 November 2020, matahari masih bersinar begitu terik. Namun, suasana rumah Sulaiman justru terasa begitu lega dan adem. Siapa pun yang mengunjungi rumah tersebut mungkin akan berpikir ulang mengenai keabsahan informasi tentang sepasang disabilitas sensorik (penglihatan) dengan tiga anak belia  yang menetap di tempat ini. 

Rumah tersebut terlihat asri. Pagar sederhana mengitari rumah dengan rapi. Di sisi rumah terdapat balai yang dinaungi rimbunnya pepohonan. Bunga dan beberapa jenis tanaman pangan tumbuh berjajar mengitari teras depan. Di sisi belakang rumah terlihat sepetak kandang yang berisi ayam-ayam yang tampak sehat terawat.


Watee phon gadoh penglihatan, tanyoe merasa terpukul pasti.” 

Kenang Sulaiman saat ditanyakan perasaannya saat pertama kali mengalami kehilangan penglihatan.

Pria kelahiran Bireuen, 47 tahun silam, ini pertama kali kehilangan penglihatannya di usia 7 tahun disebabkan kecelakaan sepeda motor yang dialaminya bersama abang dan nenek. Pihak keluarga telah mengusahakan beragam pengobatan bagi kesembuhan mata Sulaiman, dari medis hingga alternatif, akan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal.

Bagi Sulaiman, transisi dari seorang non-disabilitas menjadi disabilitas pada awalnya menjadi tantangan yang cukup berat. Bahkan terkadang dia lupa kalau sudah kehilangan penglihatannya. Di masa-masa itu, dalam keterbatasannya, Sulaiman tetap beraktivitas seperti biasa. Namun, tak dapat dimungkiri, kecelakaan seperti menabrak tiang rumah hingga kepala retak jadi kerap dia alami.

Sulaiman menjelaskan bahwa pada kenyataannya butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk menerima kondisi diri sebagai seorang disabilitas. Perasaan sedih kerap muncul mana kala kenangan penglihatan yang terekam dalam memori mulai kabur, terhapus satu persatu. Namun, penerimaan dari teman-teman, lingkungan sekitar dan kemauan diri untuk bangkit telah menyelamatkan Sulaiman dari lubang keterpurukan.

Kemudian, menjadi seorang disabilitas nyatanya tak membatasi Sulaiman untuk berani berhijrah ke sana ke mari; bergaul, berorganisasi, dan mencari rezeki. Dia bahkan sempat mengenyam pendidikan luar biasa di Jabal Ghafur, Sigli. Di Panti Sosial Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra pada tahun 1992, Sulaiman mampu menguasai beragam keterampilan seperti anyaman rotan dan sabut, pijat (body massage), pertanian, peternakan, bahkan menguasai Al-Quran Arab Braile. Pada Maret 1996, Sulaiman pun menyelesaikan pendidikannya dan menjadi tenaga ahli tersertifikasi.

Tak hanya menjadi salah satu lulusan terbaik, Sulaiman juga mampu memotivasi teman-teman disabilitas. Sulaiman secara serius melakukan gerakan advokasi perjuangan hak-hak disabilitas. Hal tersebut tercermin bukan saja secara personal namun juga secara organisasi. Sulaiman bersama dua rekan lainnya telah mendirikan Ikatan Persaudaraan Disabilitas Pidie (IPDP) dan kini iapun menjabat sebagai ketua. Rekam jejak perjuangannya inilah yang mendorong Forum Bangun Aceh (FBA) memberikan penghargaan atas jerih payah Sulaiman dalam memperjuangkan kaumnya.

 

Selain dapat memenuhi kebutuhan diri sendiri, melalui skill yang dipunyai Sulaiman juga ikut memberdayakan disabilitas yang lain. Seperti pengalaman yang ia rasakan sendiri ketika mengajarkan 8 orang disabilitas sensorik (penglihatan) lainnya. Kini mereka telah berdaya dan mampu mencari nafkah melalui keterampilan massage (pijat). Bahkan ada yang sudah mampu berkeluarga. Kemudian, ada juga disabilitas yang dulunya sempat tidak mampu menerima kondisi yang ia alami dan ingin bunuh diri. Namun justru kini dia telah mampu berdikari dan aktif berorganisasi. 

“Dari segi agama, Tuhan pih geupeugah, ‘Barang siapa manusia yang tidak mau mengubah nasib dirinya, Tuhan pun tak akan ubah,’.” Ujar Sulaiman. 

Sang istri, Rahmati, menambahkan bahwa dalam menjalankan biduk rumah tangga, sebagai sepasang disabilitas dengan tiga orang anak, mereka harus punya modal kemauan untuk berbuat dan saling berkerja sama. Hal tersebut disetujui Sulaiman. Bagi mereka, kekompakan dan saling dukung antarpasangan itu penting agar semangat berbuat dan berjuang tak padam.

Bagi Sulaiman dan istrinya, orang tua haruslah berusaha untuk mandiri. Walau mereka berdua adalah orang tua disabilitas, tetapi mereka harus menunjukkan kemauan berusaha dan kemampuan berbuat bagi anak-anak mereka. Oleh sebab itu, di rumah, mereka membuka jasa pijat (body massage) dan facial tradisional. Rumah tersebut beralamat di Jl. Sigli- Kembang Tanjong, Blang Paseh, Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh 24118, Indonesia. Hubungi Sulaiman: 0813 6038 5232.

Menurut Sulaiman, sebagai orang tua, kita harus pintar membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Sehingga, anak tidak merasa berjarak dengan orang tuanya. Baginya, contoh teladan itu penting.

“Lihat ayah. Ayah tidak bisa melihat. Tapi kenapa bisa dipakek di mana-mana? Karena punya kemampuan. Jadi, agar dihargai oleh orang lain, kalian harus punya kemampuan. Belajar yang rajin. Agar pintar.” 

Tutup Sulaiman mengenang pembelajaran hidup yang kerap ia utarakan kepada anak-anaknya. []

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Jasa Facial Tradisional dan Pijat (Body Massage) Tersertifikasi Provinsi Aceh"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)