"Belanja Pengalaman" di Art: 1 Museum and Gallery Jakarta

Kisah ini dimulai dari luapan rasa penasaran. Pengalaman pertama memberanikan diri menjelajahi ibu kota sendirian. Membayar lunas rasa ingin tahu akan wujud dunia seni kontemporer. Menjebak seorang teman, hasil kenalan singkat, sebagai model galeri modern. Sehingga terangkumlah sebuah cerita konyol jalan-jalan pertama seorang anak manusia ke Jakarta. Di mana suka dan duka perjalanan tetap dibalut tawa dan geleng-geleng kepala.  


Alkisah tersebutlah seorang perempuan yang berasal dari salah satu Provinsi terujung Indonesia yang terkenal dengan kelezatan kopi dan mienya. Cerita punya cerita, entah bagaimana caranya dia mendapatkan peruntungan untuk terbang dari Sumatra menuju Jawa, tanpa modal uang, apalagi bantuan jin lampu teplok, maupun tikar terbang. Namun menurut kabar angin, perempuan ini mendapat kesempatan menjelajahi wilayah yang terkenal dengan kisah Batavia itu lantaran isi mantra-mantra tulisan entah apa-apa yang dibuatkannya (klik jika penasaran). 

Alhasil, sadar diri sedang dicurahi berkah dari pemerintah negara Zamrud Khatulistiwa, akhirnya dia pun memutuskan untuk belanja pengalaman di pusat kota Jakarta. Adapun target wilayah yang ingin dia jajaki pastinya yang familier di dunia daring. Seperti tugu monas, perpustakaan nasional, dan art: 1 museum and gallery, yang ia sendiri tak tahu-menahu letak keberadaannya.



Akhirnya, bermodalkan intuisi, sesatnya arahan google map, dan kemampuannya berkomunikasi dengan rerumputan, bebatuan, dan pepohonan yang bergoyang, bertemulah ia dengan sejawatnya yang sudah mulai lumutan karena menunggu kelamaan, di depan pintu pagar museum modern yang sekilas tampak seperti rumah kompeks bergaya minimalis. Kalau bukan karena tulisan merah membara art: 1 yang terpajang di depan gedung plus hasil wawancaranya dengan para pekerja yang pintar menyamar bak batu, pastinya si perempuan yang diketahui mempunyai nama panggilan Ayu, walau tak begitu ayu ini, akan lenggang kangkung meninggalkan tempat berharga penuh wasiat sentuhan modernitas yang terletak di tengah kota yang tak pernah lelap. 




Sang kawan, yang sudah lumutan menunggu dan sama sekali tidak merasa kangen itu, lantas melaju memasuki surga seni tanpa ba-bi-bu sama sekali. Sebagai sosok ceria yang penuh trauma tontonan film horor tak disengaja, bagi si Ayu, tampilan ceria museum ini membuatnya sekali-kali mengingat kenangan film un-faedah house of wax, yang sebenarnya dulu pernah ia puja-puja. Pada dasarnya, perempuan pencinta hutan ini bukanlah seorang penakut. Hanya saja dia mudah merasa geli dengan imaginasinya sendiri. Seperti membayangkan bagaimana andai nanti ada di antara patung-patung seni itu yang tiba-tiba bergerak, tersenyum, menyapa atau sekadar memutarkan bola mata padanya. Haha...





Saat membuka pintu, si Ayu yang mudah terhipnotis kekagumannya sendiri, terbengong-bengong dengan ceperan pendulum raksasa keemasan yang sejatinya berbentuk setengah bola berwarna merah yang terus berputar-putar.  Mungkin lebih sepuluh menit dia melongo. Hingga sang kawan memanggilnya untuk mengisi identitas pengunjung di meja registrasi. Sejauh ini masih terjadi penyelidikan panjang para Alien yang menyamar sebagai manusia, sehingga seluruh pengunjung museum wajib mencantumkan identitasnya. 




Saat lamat-lamat memperhatikan desain dan perangkat interior museum yang mewah nan elegan, ditambah kehadiran beberapa pengunjung lainnya yang berpenampilan super hits nan ala-ala, tiba-tiba dompet si Ayu pun berdetak hebat. Bau-bau pemborosan secepat kilat mencengkeram sukma. Dengan senyum elegan nan persuasif, sang penjaga tiket museum langsung mengeluarkan jurusnya. Di antara nanar tatapan aura-aura kemiskinan yang segera menyapa, si Ayu dan sang kawan terkesiap ketika mengetahui bahwa harga tiket setara dua lebar uang biru perorangnya, tentu masih ada bonus pengembalian sisanya yang entah berapa. Di antara gengsi dikatai miskin dan benar-benar takut jatuh miskin, kedua teman yang merasa senasib sepersialan ini mengeluarkan pundi-pundi kehidupan mereka dengan tangan gemetar. 


Ah, andai dari awal sudah ada layanan Traveloka Xperience, pastinya si Ayu dan temannya yang berinisial Bagus itu tentu tidak akan mengalami kenestapaan semenggenaskan ini. Sayangnya kunjungan si Ayu dan sang Bagus ke art: 1 museum and gallery di Jakarta terjadi tahun 2018 lalu. Bayangkan saja jika kunjungannya terjadi tahun ini, bisa-bisa terkekeh-kekeh mereka berdua karena bisa mendapatkan diskon produk Harbelnas (Hari belanja pengalaman nasional) hingga 60% dari tanggal 7-13 Oktober 2019. Bisa-bisa penuh sosmed mereka dengan hastag #XperienceSeru #XperienceSeru #XperienceSeru banget. Iya, mereka bisa sefanatik itu ketika penyakit lebainya menjadi kronis. 




Ah, iya. Terkait gema traveloka yang sudah amat familier di dunia manusia sebagai penyedia jasa tiket perjalanan murah, kali ini di tahun 2019 si doi berhasil berganti wajah. Tak mau kalah dengan kemampuan manusia yang hanya bisa berwajah dua, kini traveloka dengan identitas Traveloka Xperience mampu menghadirkan ragam wajah program yang lebih berkesan. Mengingat maraknya kontruksi ulang wajah di kalangan manusia pencinta keindahan visual maka tak ada salahnya jika wajah program bisnis ikut dikontruksi ulang agar semakin menawan hati pelanggan, ya kan? Adapun program berkesan yang tersedia di Traveloka Xperience di antaranya terdiri atas spa dan kecantikan, hiburan, event, olahraga, atraksi, tour, makanan dan minuman, kursus dan workshop, perlengkapan travel, transportasi, dan bioskop. 




Baiklah, kembali ke kisah, tanpa kasih, perjalanan si Ayu dan sang Bagus. Karena sudah bersedia dikontrak tanpa royalti, namun hanya berdasarkan keikhlasan hati untuk dipotret sana sini, akhirnya pertualangan mereka di dalam museum penuh misteri nan warna-warni itu pun dimulai. 

Oh iya, perlu diingat bersama bahwa jika memotret menggunakan kamera canggih non-handphone maka kita akan dikenakan biaya tambahan. Namun jika hanya menggunakan gawai (tanpa blitz), maka aman. Baru kali ini Ayu dan Bagus dikejutkan fakta bahwa strata kemapanan sosial ekonomi seseorang di zaman ini bisa dinilai hanya melalui kualitas kamera. Luas biasa yang biasa di luar. 




Seperti manusia lainnya yang mengunjungi galeri seni agar terkesan elegan dan berkelas walau sejatinya tak paham, eksistensi diri di dalam museum harus didokumentasikan dengan baik dan banyak, begitu ajaran Bagus. Ingat adegan merogoh kocek yang sempat menggetarkan sukma tadinya. Pasti kedua insan ini tak akan mau rugi, walau sejatinya kunjungan mereka pasti dibatasi waktu. Jiwa mereka tetap gentayangan, ingin memasuki seluruh sisi ruang galeri, untuk menikmati setiap karya seni yang sejatinya tak mampu benar-benar mereka pahami.

Tersebutlah jepretan awal yang terkesan berkelas dan macho. Dengan segenap gaya yang biasa saja, sang Bagus pun bertengger di sisi VW Beetle Sphere karya seniman Ichwan Noor. Walau tak paham apa yang sedang didiskusikan dari hati ke hati antara sang Bagus dengan mobil klasik yang telah remuk itu, si Ayu dapat memastikan bahwa percakapan mereka hanyalah seputar mempertanyakan mengapa logika para pria tidak berfungsi kala jatuh cinta.  Semakin lama, Bagus dan mobil itu merasakan getaran chemistry dan mulai saling memahami. Namun, si Ayu tahu bahwa waktu lebih berharga dari sekadar uang, maka diteriakinya sang Bagus untuk kembali sadar ke dunia nyata dan meninggalkan segala kehaluannya. 




Setiba di lantai atas, terpampanglah sederet karya museum kue yang begitu manis. Mulailah si Ayu yang terkekeh-kekeh. Sang Bagus mulai was-was, takut kalau-kalau temannya ini duluan kejiwaan sebelum sesi pemotretan selesai. Adapun ketampanan dan kemachoan sang Bagus yang telah dilatih sejak bertemu mobil bundar tadi seketika remuk kala memandangi foto sang pembuat cake museum , Osamu Watanabe, yang mendeskreditkannya melalui sorotan mata dan sungging senyum penuh pesona. Sebuah pernyataan telak akan karya-karyanya yang seindah sang pembuatnya. Sebuah kenarsisan super hakiki yang tak bisa dibantah begitu saja. 




Tak hanya bentuk makanan super lezat, di dalam museum kue ini terdapat pula lukisan dan karya 3D unik lainnya. Karya-karya tersebut dibuat dengan menggunakan media bahan kue. Layaknya keindahan lukisan burung mistik, Phoenix, yang tampil anggun namun juga mampu mengundang rasa lapar pada sesiapa saja yang memandangnya. 

Selayaknya perjanjian yang telah diikrarkan sejak awal, bahwa si Ayu hadir untuk memotret sang Bagus. Namun sayangnya, mereka lupa bersepakat akan jumlah protret yang diharuskan untuk ada. Sehingga, di sela-sela keterbengongan sang Bagus, alih-alih mengambil ekspresi candid sang teman, si Ayu justru lebih fokus kepada lukisan-lukisan dan karya-karya lainnya yang menarik hatinya seorang. Tentunya Bagus, sang teman, tidak masuk lis target bidikan utama kameranya. Namun sebagai sesama pendatang yang sudah merasakan nestapa sejak awal, tak terlihat konflik yang signifikan antara keduanya. Mungkin karena mereka sama-sama lelah, bokek, dan juga lapar. Maka mereka pun menjadi saling pengertian dan tulus maaf-maafan. Keduanya pun yakin bahwa adegan tersebut tak akan terjadi jika mereka dalam kondisi kenyang, kaya raya, dan berkuasa. Hahaha...





Akan tetapi sejujurnya, di antara semua karya seni yang sempat diperhatikan, sepertinya si Ayu sempat keheranan dengan karya daun pisang yang satu ini. Pasalnya, dia sempat merasa kesal saat memandangi lukisan daun pisang karya Mulyo Gunarso. Menurutnya, daun pisang tampaknya tak layak dijadikan lukisan untuk museum seni kontemporer semewah art: 1. Pasalnya, di tanah kelahirannya, banana leave itu tidak terhingga banyaknya. Mengapa pula harus dilukis dan dimuseumkan sebegitu rupa? Mungkin kira-kira begitu tanyanya. 

Namun ketika berkeliling kota Jakarta, dan beberapa wilayah yang dipenuhi Mall dan Shopping Center lainnya, hati si perempuan kampung itu mulai menyadari fakta bahwa apa yang ada dan banyak di suatu tempat, bisa jadi hal langka dan sangat berharga di tempat lain. Pemahaman dari pengalaman yang harus dibelanjakan dengan tidak murah itu memberikannya letupan sensasi gembira luar biasa. 




Setelah menuntaskan tugasnya memotret sang teman, Bagus, dari segala sudut pandang dan sudut tak layak pandang, akhirnya mereka pun memutuskan untuk turun, keluar, dan pulang. Ayu dan Bagus merasa senang karena mereka bisa saling memanfaatkan, bukan sekadar bermanfaat. Walau pengalaman yang mahal harganya itu berguna, Ayu dan Bagus pastinya akan iri jika tahu bahwa ragam kunjungan wisata ke berbagai tempat dapat diakses dengan mudah dan murah melalui Traveloka Xperience. Sayang sekali mereka berdua tidak dapat membaca masa depan. Namun, biarlah kunjungan fantastis menelusuri Art: 1 Museum and Gallery Jakarta menjadi pengalaman getar-getir rada manis untuk mereka berdua. Biarlah #XperienceSeru masa lalu itu tetap bersama mereka.[]

Subscribe to receive free email updates:

10 Responses to ""Belanja Pengalaman" di Art: 1 Museum and Gallery Jakarta"

  1. betul kak, aman kali pakai traveloka emang, gak ribet. hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cara praktis belanja pengalaman lebih hemat kan?!

      Hapus
  2. Keren banget ya kak Museumnya. Baca tulisan kakak, aku bisa merasakan bagaimana si Bagus menghadapi cewek Sumatera yang bernama Ayu itu. Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yups. Cantik kali memang isi museumnya. Tapi enggak disarankan pergi seorang diri ya. Karena bakalan nyesal kalau enggak sempat berswafoto di sana.

      Hapus
  3. Aku juga udah coba Traveloka Xperience ini. Fiturnya menarik. Beli tiket lebih murah dan gak pake antri. Dan ini penting kalo wisata yang kita tuju lagi rame-ramenya.

    BalasHapus
  4. wah luar sekarang museum jakarta jadi keren banget ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Art: 1 museum memang keren sih, sekeren harga tiketnya. Hahaha

      Hapus
  5. I am regular visitor, how are you everybody? This paragraph posted at this site is genuinely nice.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thank you for visiting. Hope you enjoy the reading.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)