Kisah 3/4 Abad Warga Kota Banda Aceh


"Hutan tak ada, lautan terbatas, Banda Aceh punya apa? Bangunan?"


Bagi seorang yang lahir dan bertumbuh lebih dari 1/4 abad di Banda Aceh, lontaran tanya di atas tentu berhasil mencekal tenggorokan dan membungkam pemikiran, walau sesaat. Pasalnya, bukan rahasia lagi bahwa kota yang kini berusia 814 tahun dengan luas wilayah 61,36 km2 ini memiliki wilayah bahari yang terbatas dan nol wilayah hutan alami. Sehingga mau tak mau, kondisi wilayah ibu kota provinsi Aceh ini cenderung kebanyakan dinilai secara tampilan fisik semata.

Indikator kegemilangan kota Banda Aceh menyempit hanya pada batasan pembangunan jalan, perluasan jembatan, pembuatan taman, peresmian besar-besaran berbagai situs wisata kota. Tapi sebagai masyarakat kita mungkin lupa bahwa kota Banda Aceh adalah sesosok wilayah yang kehadirannya bahkan jauh lebih awal, bahkan jika dibandingkan dari umur kemerdekaan negara Indonesia. Kita lupa bahwa di samping keindahan euforia fisik kota ini, kita butuh kembali menilik ruh kota tua yang tampak selalu tampil muda. Kita lupa bahwa kota Banda Aceh ini jauh lebih indah, jauh lebih bijak, jauh lebih misterius hanya dengan mengingat umurnya yang telah melebihi 3/4 milenium. 


Masyarakat 3/4 Abad

Kegiatan wisata berbasis kisah masyarakat tua merupakan sebuah ide wisata yang patut diusung di kota tua nan elegan ini, Banda Aceh. Dibandingkan wisata sejarah melalui buku di ruang perpustakaan dan museum, mendengar penuturan langsung dari kisah para tetua yang masih hidup memberi sensasi wisata sejarah yang sungguh berbeda.

Warga kota Banda Aceh yang berusia di atas 3/4 abad merupakan aset berharga yang sepertinya belum dilirik oleh pemerintah. Mereka adalah saksi sejarah yang telah menempuh pahit manisnya kehidupan kota Banda. Namun sayangnya, ilmu dan pengalaman warga 3/4 abad ini tidak terdokumentasikan dengan baik, terutama jika mereka hanyalah masyarakat biasa.


Rohaya (76 tahun) Warga Punge Blang Cut, Banda Aceh


Rohaya (76 tahun) warga desa Punge Blang Cut, Banda Aceh merupakan salah seorang warga transmigran Medan yang telah menghabiskan hampir 3/4 total hidupnya di kota Banda Aceh.

“Dulu jalan menuju Banda Aceh sangat buruk. Saya juga sempat menyaksikan sendiri bagaimana warga tak berdosa dipanggil satu persatu, lalu diberdirikan di dalam lubang berbentuk angka tujuh, dan ditembak. Itu terjadi saat bayangan kekuasaan PKI sempat menyelimuti kota Banda Aceh,” tuturnya.

Walau berasal dari Medan, perawakan Rohaya sangat mirip orang Aceh. Saat hal tersebut dilontarkan dia pun tersenyum.

“Iya, saya mirip sekali orang Aceh. Semua orang pun memanggil saya Pocut. Saya tidak mirip orang Medan. Tapi, suami saya orang asli Banda Aceh. Keluarganya dari dulu di sini,” kisahnya.

Pasca mendengar pernyataan Rohaya tersebut, imaginasi masa lampu pasti menari-nari di setiap kepala insan pecinta sejarah Aceh. Faktanya, jika melirik sejarah, masyarakat Aceh yang menyelamatkan diri ke kota Medan ketika peperangan di masa lampau (katakanlah perang Cumbok) tidaklah sedikit jumlahnya. Bagaimana jika sosok Rohaya sebenarnya merupakan keturunan orang Aceh asli yang kakek buyutnya telah beranak pinak di kota Medan, namun kisah tentang Aceh terputuskan demi menjaga keselamatan dan takdir membawanya kembali pulang ke pangkuan kota Banda?

Belajar langsung dari penuturan kisah sosok sejarah hidup terbukti memberi sensasi berbeda. Wisata sejarah terasa begitu hidup dan rasa penasaran bisa langsung terkomunikasikan dengan baik.

Berbeda lagi dengan kisah tetangga Rohaya, Drs. H. Djafar Wahab (80 tahun), sesosok pria bersahaja dengan segudang prestasi dan ilmu ini menghabiskan sebahagian besar waktunya sebagai konsultan dan pengajar. Sesosok cerdas yang tak pernah percaya dengan kualitas air PAM sehingga seumur hidupnya tak pernah dikonsumsi. Ketika ditanya kenapa, ia hanya senyum-senyum saja.


Drs. H. Djafar Wahab (80 tahun), Warga Punge Blang Cut


Pengalaman tsunami yang harus didata, membuat kami bertemu (5/2/2019). Belajar dan mendengarkan tutur cerita dari salah satu warga Banda Aceh yang juga berusia lebih dari 3/4 abad ini sungguh memberi wejangan wisata spiritual tersendiri. Saat ditanyakan rahasia awetnya sehingga masih sehat hingga kini, ia pun bertutur.

“Saya senang olah raga. Hampir selalu main tenis. Kemudian, waktu yang ada harus digunakan secara produktif dan maksimal,” tuturnya.

Dengan khidmat saya terus mendengarkan beragam kisah hidupnya dari A ke Z. Sensasi seperti menyelami kisah sebuah buku, bedanya ini hidup, tanpa perlu dibaca karena ia bertutur.

“Bapak juga suka minum madu, minum susu kambing dan makan nasinya enggak banyak”, timpal sang istri, Hj. Fitri Trisni (70 tahun), yang muncul menggunakan tongkat sembari membawa baskom kecil berisi tiga gelas air mineral.

Percakapan terus berlanjut, dengan diselingi sanjung dan puji antar kedua pasangan.  Baru kali itu saya paham bahwa kisah di drama korea tidak seindah kebersamaan perjuangan dan kesetiaan cinta kedua warga kota Banda Aceh ini.

***

Berhasil menemui sosok warga Banda Aceh di Punge Blang Cut dengan rentan usia 70, 76 dan 80 serta mendengarkan kisah mereka menjadi kebanggaan dan pengalaman berharga tersendiri. Namun, sepertinya, takdir menginginkan saya untuk tak berhenti.

Dari rangkuman kisah warga Banda Aceh 3/4 abad, justru baru-baru ini sesosok saksi sejarah dengan usia nyaris satu abad dipertemukan oleh Allah secara tak sengaja di pesta rakyat beberapa waktu lalu.

Usman (99 tahun), warga Rukoh, Banda Aceh. Kek Usman, begitu sapaanya, keluar dari ruang TPS (17/4/2019) dengan ceria. Sambil menunjukkan tinta ungun pada jari kelingkingnya kepada anak-anaknya yang ikut mencoblos hari itu.

Usman (99 tahun), Warga Rukoh, Banda Aceh


Ka lheuh (sudah selesai),” tuturnya lega.

Kiban ayah, jeut neu tubok benoe (Bagaimana Ayah, bisa mencoblos tadi)?” Iseng saya bertanya dan menyapa.

Kek Usman menatap dan tersenyum. Tak ada raut angkuh atau tak nyaman memulai percakapan dengan orang yang bahkan baru dikenal.

Ka, jeut lon nging keudroe, lon tubok keudro (Sudah, bisa saya lihat sendiri, bisa saya coblos sendiri),” tuturnya bangga akan mata dan pikirnya yang masih sehat.

Menurut keterangan salah seorang anaknya, Kek Usman dulu berprofesi sebagai pembuat rumah Aceh. Dia merupakan sosok ceria yang senang berjalan kaki ke mana-mana, sangat menyayangi keluarga dan begitu pemaaf. Walau tidak kaya, Kek Usman sangat memprioritaskan makanan halal dan sehat untuk anak-anaknya.

Leubeh get ta tanyoe roh ke gop dari pada ata gop roh keu tanyoe (lebih baik jatah kita diambil orang dari pada kita mengambil jatah orang),” tutur Kek Usman menutup pembicaraan singkat.

***

Setelah dipertemukan dengan keempat sosok 3/4 abad warga kota Banda Aceh ini, saya akhirnya bisa merasakan kehangatan dan keberagaman ruh kota tua ini. Belajar dari lintas kisah wisata sejarah para warga, saya seakan memiliki amunisi untuk membantah bahwa kota Banda Aceh bukan saja indah karena bangunannya namun juga karena warganya. Saat itulah saya merasa begitu Banda Aceh. 

Subscribe to receive free email updates:

8 Responses to "Kisah 3/4 Abad Warga Kota Banda Aceh"



  1. Ayu, aku jadi belajar banyak. Dari kesemuanya, garis besarnya syukur dan bahagia ya. Insyaallah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga bermanfaat dan menjadi pembelajaran bersama ya Teh.

      Hapus
  2. Tiga cerita tokoh di atas sangat inspirasi. Ceritanya in depth sangat dan penuh wejangan di dalamnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Bal, merasa cukup beruntung bisa bertemu langsung dengan mereka.

      Hapus
  3. Senang bisa belajar dan bertemu dengan orang-orang seperti itu ya kak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Yelli, ruh kota Banda Aceh begitu terasa saat bertemu mereka.
      Semoga ke depan ada program yang bisa mendokumentasikan pengalaman dan cerita mereka ya. Bisa jadi program wisata baru nih. Semacam situs People of New York.

      Hapus
  4. oo namanya pak Usman.. mantap, saya baru tau dari blog ini. padahal saya orang rukoh juga T_T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menurut keterangan anak Beliau, iya begitu namanya.
      Besok-besok jika jumpa disapa saja.
      Baik kok orangnya. Cuma kadang-kadang udah agak pelupa.

      Misalnya, saat saya tanya umur, beliau bilang 97, namun menurut keterangan sang anak 99.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)