UU ITE dan Konsep "Pencemaran Nama Baik" Menurut Saksi Ahli

Di era 90-an, salah satu lagu anak yang cukup populer adalah Bawang Merah dan Bawang Putih (klik). Lagu dengan durasi kurang dari 5 menit itu mengisahkan tentang sikap dan nasib anak baik dan anak jahat. Tentu salah satu bagian lirik yang paling sering dinyanyikan berulang adalah sebagai berikut. 

"Anak yang baik, dapat yang baik. Anak yang jahat, celaka.
Anak yang baik, disayang teman. Anak yang jahat, dibuang."

Dulunya sih, saya begitu yakin dengan ajaran baik hati semacam itu. Namun, kala beranjak dewasa, saya jadi menyadari bahwa ternyata hidup tidak selalu berjalan semulus norma-norma dasar kehidupan. Ada kalanya, si anak baik bisa jadi diklaim jahat, terus dibuang? Ah, sedihnya.~


Halo, semua. Kali ini saya kembali hadir untuk menuliskan babak kedua kisah kasus Saiful Mahdi a.k.a SM. Namun pembahasan kita kali ini lebih mengarah kepada UU ITE dan Konsep Pencemaran Nama Baik Menurut Saksi Ahli. Tujuannya, agar kita semua mendapat pengetahuan yang benar. Sehingga, kita tidak mudah disesatkan dan tidak minat menyesatkan. Sesat-menyesatkan itu kan kerjaannya setan. Kalau manusianya ikutan, kasihan setannya dong, nganggur.

Nah, sebelumnya, bagi kamu-kamu yang belum familier dengan kasus ini, boleh dah coba cek di SINI (klik). Mana tahu jodoh kan ya. Ihik. Oke deh, yuk kita lanjut.

Jadi gini. Hari Selasa, tanggal 18022020, lalu merupakan sidang terbuka ke-10 untuk kasus SM. Wow, sidangnya sudah berlangsung nyaris 3 bulan, waktu yang cukup panjang kan ya. Kira-kira, udah sepanjang jalan kenangan cinta kamu yang bertepuk sebelah tangan itu belum sih? Cie...cie... (penulisnya ngajak gelut nih).

Fokus oi, fokus. Oke, oke, woles napa.  Tegang beud. (Ini penulisnya kenapa lagi sih 😑)
Terus, pada sidang itu, ketiga saksi ahli didatangkan untuk memberikan kesaksian sesuai keilmuan, keahlian, dan pengalaman mereka. Ini menjadi sesi yang cukup menarik. Sebab, penjelasan dari para saksi ahli disertai fakta, bukti, dan data yang dapat mengklarifikasi ragam opini bin ghibah unfaedah yang simpang siur beredar di lintasan planet-planet galaksi bima sakti. So, no more asumsi-asumsi club yooo. [Tonton juga Video Keterangan Saksi Ahli | Video 1 | Video 2 | (klik)]
Para Saksi Ahli (Foto: Suparta/AcehKini)

Nah, adapun ketiga saksi ahli yang berhadir adalah:
1. Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, SH, MA. - Staf Ahli Kementrian Komunikasi dan Informatika RI, sekaligus Guru Besar Universitas Airlangga
2. Totok Suhardijanto, M. Hum., Ph.D. - Dosen Fakultas Ilmu Bahasa (FIB) Universitas Indonesia
3. Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. - Dosen Binus University

Wuesss, keren beud. Para saksi ahli yang hadir kualitasnya ntap gini. Jangankan menjadi saksi ahli sidang SM, mereka mah sangat layak dijadikan pembicara undangan untuk kuliah umum dan seminar di kampus-kampus seluruh Indonesia, apalagi di Provinsi Aceh. Secara, mereka pada udah diterbangkan jauh-jauh dari pulau berbeda, menyeberangi lautan, membelah awan, membuat penasaran, menjadikan jantung berdebar, hingga tiba di provinsi terujung Indonesia ini. (Maafkanlah sifat penulis yang lebay sejak dari DNA)

Syukurnya nih, wacana kuliah umum itu sebenanya ada lho, tapi sayangnya dibatalkan oleh pihak kampus. What?! Katanya biar netral gitu, Bosque. Kalau kamu pada penasaran, silakan kepoin beritanya di SINI (klik). Buruan dah dicari tahu detailnya. Keburu jadi roh penasaran ntar.

 
Oke deh, muqaddimahnya selesai. Sekarang, mari siap-siap gunakan sabuk akal sehat. Kita akan terbang menuju kenyataan terkait maksud dan tujuan sebenarnya dari kehadiran UU ITE dan standar baku konsep pencemaran nama baik

Sebelumnya, para pembaca dianjurkan untuk tetap bernapas dan segera mengonsumsi air putih. Mengingat kekurangan cairan tubuh a.k.a dehidrasi mampu menyebabkan penurunan tingkat kecerdasan dan merusak konsentrasi. Sangat disarankan untuk tidak mengosumsi berita hoaksterlebih janji manis si dia, walaupun zero kalori sihkarena diduga ujung-ujungnya dapat menyebabkan kebodohan.  

Ingat, pesan bijak Gus Baha. Agar sudi kiranya kita semua belajar, membuka hati dan pikiran, demi merawat kebaikan bukan kegoblokan. Sekian. Sampai jumpa segera di paragraf selanjutnya.~



Meninjau UU ITE dari Sisi Rumor, Humor, dan Horor

Asumsi: 
Dengar-dengar nih, katanya, terdapat lebih dari 200 kasus yang muncul karena alasan pencemaran nama baik dengan mengambil landasan UU ITE alias Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun masalahnya adalah ada juga pihak yang mengklaim bahwa UU ITE ini tidak adil dan membungkam kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan pendapatnya. Kok ada ya undang-udang yang saling bentrok gitu? Yang satunya mendukung kebebasan, dan yang lain membungkan. Apa-apaan ini semua?! 

Para Saksi Ahli Mengambil Sumpah (Foto: Suparta/AcehKini)
Fakta:
Benar sih, ada lebih dari 200 laporan yang diajukan dengan melandaskan kasus pada UU ITE. Tapi, tahukah kamu apa UU ITE itu sesungguhnya? Isinya? Acuannya? Pendapat pakarnya? Beuh, yakin dah pada enggak ngerti kan, kan, kan. Sama, saya juga, whehehe... Hiya, hiya, tos dulu dong. #BodohdanBangga

Baiklah,  demi mendempul kepandiran kita bersamayang pastinya tidak tertolong produk perawatan skincare, bantuan make up MUA, maupun tangan sakti babang barbershopmaka marilah kita ulang kaji kembali maksud dan tujuan UU ITE sesungguhnya melalui ahlinya.

 
Tersebutlah Prof. Henri yang menjadi acuan kita dalam memahami UU ITE. Pertanyaannya, mengapa harus beliau? Jawabannya adalah karena secara syarat keilmuan, pengalaman, peran, prestasi, bahkan sikap dan tata krama, beliau jempolnya. Satu lagi yang terpenting, khususnya bagi penulis, adalah beliau punya link dengan pihak NASA. (Akhirnya, setelah 3x puasa, 3x lebaran, penulis bisa pulkam ke Mars).


Video Profil Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, SH, MA.

Baiklah, sebelum kehaluan saya melebar ke mana-mana, berikut ini saya sajikan rangkuman awal 7 Fakta UU ITE yang wajib kita pahami bersama. Kuy dicek.


Jadi, UU ITE itu mulai dirumuskan sekitar tahun 2004-2005 dan selesai dibuat pada tahun 2008. Wah, lama ya? Hu-uh, habis merumuskan hati si doi seorang aja, kamu butuh waktu stalking IG berbulan-bulan, ya enggak sih? Apalagi merumuskan hati seluruh penduduk negeri ini. Wajar kali, butuh waktu. 

Terus, pada awal 2007, Prof. Hendri sendiri menjadi staf ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan Menterinya yaitu Prof. Dr. Ir. Muhammad Nuh. Dan... Prof. Hendri ikut terlibat dalam proses mempersiapkan undang-undangnya. 

Menurut keterangan beliau nih, ternyata UU ITE itu bukanlah undang-undang yang membentuk norma pidana baru, namun emang udah ada dari sononya, di dunia fisik a.k.a dunia nyata. Stok baru, barang lama. Dari aturan interaksi di dunia nyata, lantas diadopsi ke dalam interaksi di dunia maya.

UU ITE itu semacam media perantara baru, namun isi pesannya sudah termaktub sejak dulu. Sejenis surat cinta yang dulunya dikirim pakai kertas plus merpati, sekarang cukup lewat WA atau IG. Isi suratnya ya sama aja. Kalimat-kalimat penuh rayuan maut minim logika, plus slogan epik ala Syahrini, banyak bunga-bunga. Bukan di kebun sih, tapi di hati. Eeaakk... (Fokus oi, ini penulis dari hukum kok lari ke artis sih)


Nah, Pasal 27 ayat (3) tentang Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik (klik) merupakan salah satu contoh produk hukum fisik. Isi norma itu sudah ada di KUHP pasal 310-311, kemudian menjelma menjadi pasal 27 ayat 3 di UU ITE. Paham kagak?! 
Oke, oke. Jadi gini. Itu undang-undang sebenarnya sudah ada jauh sebelum dibentuknya UU ITE sendiri. Diadopsi cuy. Namun disebabkan minimnya pengetahuan kita, jadi banyak masyarakat yang latah menggunakannya. Ditarik-tarik dah fungsi itu pasal ke mana-mana, menurut selera masing-masing penggunanya. Pribahasanya, buruk muka cermin dibelah. Paham fungsi tidak, UU ITE terus yang digunakan untuk berkilah. Ingat pesan bijak Cak Lontong, "Makanya, apa-apa itu, Mikir!"


Baiklah, satu misteri terpecahkan, mari kita lanjutkan ke sesi horor misteri lainnya. Terus, yang masuk delik penghinaan dan pencemaran nama baik itu gimana? Nah, menurut keterangan dari Prof. Henri;

Penghinaan dan pencemaran nama baik adalah menyerang kehormatan dengan cara menuduhkan suatu hal pada seseorang agar diketahui oleh umum. Menuduh itu harus terdapat malicious intent di sana, alias "niat beud".

Menuduh itu punya 3 unsur utama dalam UU ITE;
1. Menuduh; bukan berpendapat,  bukan menilai,  bukan mengevaluasi. 
2. Seseorang ; yang dituduh personal bukan kelompok, institusi, atau organisasi.
3. Diketahui oleh umum; bukan pada media yang terbatas dan tertutup.


So, menurut keterangan Prof. Henri nih ya, definisi pencemarah nama baik sudah termaktub dengan jelas di UU ITE N0. 19 Tahun 2016. Gini katanya, "Pengertian penghinaan dan pencemaran nama baik mengacu kepada delik pencemaran nama baik dan delik fitnah yang terdapat di KUHP."

Bijaklah Bersosial Media
 


Untuk memahami permasalah terkait standar pencemaran nama baik, kita-kita kudu merujuk kembali ke KUHP Bab 16, pasal 310-321. Yups, 11 pasal lho guys dibahas jelas tentang penghinaan.


Jadi, menuduh dan berpendapat itu beda lho, gitu kata Prof.
Menuduh adalah menyampaikan suatu keterangan dengan menunjuk bahwa seseorang melakukan perbuatan tertentu. Bukan menilai, bukan mengevaluasi.
Berpendapat adalah pandangan pribadi seseorang tentang suatu keadaan atau objek tertentu. Berpendapat itu hak semua orang dan dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 28F. Jadi...



"Seburuk apapun dari sebuah pendapat, dia tidak bisa diadili, apalagi dihukum secara pidana. Pendapat sebagai pandangan (evaluasi) pribadi seseorang untuk menjelaskan (menilai) suatu peristiwa atau hal tertentu, baik yang belum terjadi maupun yang telah terjadi." Gitu kata Prof. Dr. Drs. Henri Subiakto, SH, MA.

Long story short, pembatasan definisi yang jelas itu penting. Kalau enggak, ya semua hal dirasa penghinaan. Bisa-bisa Titan arum ikutan mengadu pula ke pengadilan entar. Secara, cakep-cakep gitu, masa si doi dipanggil dengan sebutan bunga bangkai. Aturan-aturan mah udah pada keren dan memenuhi syarat akal sehat, para manusianya aja yang sepertinya pada kurang baca dan mikir. Oh, Lord! 

 

FYI. UU ITE dan UU Keterbukaan Informasi Publik itu dihasilkan oleh lembaga yang sama; Komisi I DPR RI, Kementrian Kominfo, dan Presiden. Yang satu untuk hak perlindungan transaksi informasi dan yang satunya lagi untuk hak memperoleh informasi, demokrasi serta transparansi. Maka, kedua undang-undang tidak mungkin saling bertentangan. Semuanya dibuat untuk melindungi dan membahagiakan kamu kok. Kamu-kamu itu seharusnya peka dong. Kurang romantis apa lagi coba NKRI?!



Ah, jadi pendapat macam apa yang seenaknya dilaporkan sebagai tuduhan berlandaskan UU ITE? Di bagian mananya UU ITE menghambat kebebasan berpendapat dan berpikir kritis? Mana buktinya, mana?  Puk-puk plus #virtualhug UU ITE dah. Kasihan dia di-php-in terus sama para manusia. 

Lah, jadi keingat pernyataan Prof. Henri pada sidang hari itu
"Kalau pandangan itu diadili. Maka, penjara itu penuh. Isinya cuma untuk mengadili orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda."

Beliau juga memaparkan bahwa sesuatu yang tidak baik dan tidak menyenangkan, seharusnya diselesaikan lewat komunikasi. Pandangan dibalas pandangan. Supaya perbedaan pendapat menciptakan kehati-hatian, kecerdasan, dan menjadikan orang bijak. Kita jadi saling memahami bahwa sejatinya manusia itu ternyata beda-beda. Demokrasi itu tujuannya menciptakan sistem menjadi bijak. Jika perbedaan pandangan dan pendapat pun harus diadili, maka pemikiran kita menjadi tertutup.

Nah, demikianlah sesi ghibah kita kali ini. Semoga berfaedah. Bagi yang sudah berusaha membaca tulisan ini sampai tuntas, salut. Semangat terus untuk mengasah pikiran dan mendidik nurani. Kritik dan saran membangun selalu diterima oleh penulis seikhlas hati dan sepenuh gigi. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertandang. Salam.[]


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "UU ITE dan Konsep "Pencemaran Nama Baik" Menurut Saksi Ahli"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)