Cinta, Benci, dan Segenap Toleransi


TOLERANSI dalam bingkai SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) sudah menjadi hal yang mainstream untuk dipaparkan. Namun bagaimana jika pembicaraan toleransi kita kali ini dimulai dengan pembahasan bahasa cinta? Tentu membuat penasaran dan membuahkan debaran-debaran rasa. Iya kan?

Jika merujuk pada sebuah film Thailand jadul yang cukup populer berjudul First Love a.k.a Crazy Little Thing Called Love, kita akan belajar bahwa ada kalanya nuansa toleransi tak jauh-jauh dari kisah romansa. Dalam film tersebut dijelaskan bahwa sesungguhnya penyebab seseorang menyukai seseorang lainnya tak lebih dari segelintir hal-hal kecil yang mungkin tidak masuk akal. Bisa itu karena derai tawanya, senyuman manisnya, suaranya, candaan konyolnya, pola pikirnya, perhatiannya, matanya, giginya, hidungnya. Iya, sama sekali bukan paket sempurna. Namun segelintir rasa sederhana yang menepi di sanubari seorang manusia. Eakkk...eakkk.... 

Alhasil, setelah jatuh hati pada hal-hal kecil "tidak masuk akal" tadi, seketika segala cacat sikap lainnya dari seorang yang dielu-elukan menjadi tersamarkan, termaafkan, bahkan terlupakan. Tanpa diduga, di antara benih-benih cinta yang bermekaran itu, di sanalah toleransi menjelma.
----------
Catatan: Bagi pembaca yang ter-flashback mantan/gebetan kemudian terindikasi baper akut, mohon maaf, penulis tidak menyediakan garansi pengobatan kenangan masa lalu.Terima kasih.


Definisi Toleransi

Setelah pembukaan panjang lebar tadi, mari sejenak bersama kita jajaki kembali definisi dari toleransi. Jika merujuk pada paper yang dituliskan oleh Chafid Marzuki yang berhasil merangkuman definisi toleransi, kita bisa menemukan ragam pengertian toleransi dari empat perspektif bahasa; Indonesia, Inggris, Latin dan Arab. Berikut definisi toleransi yang dipaparkan dalam tulisannya.



  • Dalam KBBI, kata toleransi berarti sifat toleran. Kata toleran didefinisikan sebagai sikap menghargai pendapat/keyakinan yang berbeda atau bertentangan dengan diri sendiri.
  • Toleransi merupakan kata serapan dari bahasa inggris "tolerance" yang berarti sabar dan kelapangan dada.
  • Menurut Abdul Malik Salman, kata tolerane berasal dari bahasa latin yang berarti berusaha tetap bertahan hidup, tinggal atau berinteraksi dengan sesuatu yang sebenarnya tidak disukai.
  • Dalam bahasa Arab, padanan kata toleransi adalah samanah atau tasamuh, artinya sikap berlapang dada atau terbuka dalam menghadapi perbedaaan yang bersumber dari kepribadian yang  mulia dan keikhlasan.
Nah, melihat definisi toleransi dari keempat bahasa di atas, saya rasa toleransi itu mirip seperti membuang secuil ego diri agar tersedia tempat pada diri kita untuk manusia lainnya. Hal yang sama akan berlaku juga bagi kita, yakni tersedianya secuil persinggahan di relung jiwa para insan entah berantah di dunia fana.

Adakah Batasan dalam Bertoleransi? 


Jika kamu diminta memilih satu dari dua pernyataan berikut,

bebas dalam keterikatan
atau
terikat dalam kebebasan

yang manakah yang akan kamu pilih? 

Sama halnya dengan toleransi, dua opsi tersebut mirip sekelumit pilihan dalam menyikapi ragam kondisi dalam kehidupan sehari-hari. Ini akan menarik karena kita akan sadar bahwa membicarakan toleransi ternyata tidak sesederhana makan nasi pakai sayur kol. Krik-krik, krik-krik. Baiklah, mari kita move on ke pemaparan yang lebih cetar membahana. 

Nah, cerita punya cerita nih, pada tanggal 17 November 2018, saya diundang untuk menghadiri sebuah pertemuan keren dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional yang diadakan di Rumoh Budaya, Banda Aceh. Tema yang diangkat cukup unik yakni "Memperkuat Persaudaraan dalam Kebersamaan di Aceh". Peserta yang hadir berasal dari beragam etnis, suku dan agama.

Memang sih acaranya digelar di Aceh, namun suasanya sekelas pertemuan internasional lho. Minus MIC sih, berhubung mati listrik dan panitianya lupa mempersiapkan cadangan TOA. Ini Aceh bung, yang katanya kaya raya tapi sumber listriknya masih nyantol punya tetangga atau jangan-jangan karena terlalu dermawan ya? Daya listrik miliknya justru dipinjamkan? Semacam kasus semen sih, isinya punya Aceh, dikemasnya di Medan. Senasib sama teri juga, nangkap ikannya di Aceh, tapi KTP si doi buatnya di provinsi seberang. Tanya kenapa? 

Oke, mari kembali fokus pada soalan perlu tidaknya batasan pada sikap toleransi. 

Nah, selama acara berlangsung, digelar ragam diskusi seputar pengalaman para sahabat non-muslim dan non-Acehnese selama tinggal di Aceh, khususnya di Banda Aceh. Terdapat juga pembahasan qanun dan hukum syariat dari para pakarnya. Serta berbagai  sesi tanya-jawab, curhat dan pendapat yang membuka wawasan, bonus kesempatan menjalin pertemanan baru. 

Beberapa petikan pendapat yang menghujam lembut dalam sanubari saya adalah ketika salah satu pemateri, Prof. Dr. Syahrizal Abbas  MA membuka pembicaraannya dengan kalimat "Salah satu cara menjaga toleransi adalah dengan menggelar dialog". Terdengar sepele. Tapi dialog tak akan pernah terjadi tanpa adanya toleransi, berbesar hati memberi dan menerima pendapat. 

Sederhananya seperti ini. Jika ada dua sejoli sedang bertengkar maka kemungkinan sebuah dialog terjadi di antara keduanya akan sangat sulit. Biasanya akan terjadi perang dingin seperti diam-diaman dan ngambek-ngambekan atau perang azab contohnya marah-marahan, tuding-menuding atau lempar-lemparan barang (referensi ini disponsori oleh berbagai film, hehe). 

Intinyanya, dialog tidak akan terjadi jika kedua belah, ketiga belah, keempat belah, berbelah-belah pihak tidak berniat baik untuk menjalin koneksi. Jadi, sudah tahu kan mengapa pembukaan kata-kata Beliau sangat menyentuh hati? 


 Adapun ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Khairani Arifin, S.H., M.Hum, menilai bahwa dalam kehidupan ini kita harus bertoleransi kecuali terhadap sikap intoleransi itu sendiri. Beliau juga menambahkan bahwa negara kita terlalu bertoleransi terhadap intoleransi.

Menyikapi pernyataan tersebut, secara global saya juga bersepakat. Namun, jika meninjau secara detail maka saya berpendapat bahwa terdapat syarat khusus untuk mengamini sikap toleransi tersebut. Singkatnya, kita tidak boleh secara bebas bertoleransi terhadap segala hal tanpa batasan dan i'tikad baik pada perbuatan tertentu. 

Misalkan saja, maraknya kasus pelegalan gerakan kaum LGBTQ atau fenomena pengenalan Drag Queen pada anak-anak. Apakah kita juga harus bertoleransi terhadap hal merusak semacam itu? Tentu jawabannya T.I.D.A.K. 




Ingat!!! 
Rokok, alkohol, narkotika, LGBTQ, free sex, pergaulan bebas, pelegalan aborsi, pornografi, anime dan konco-konconya itu semata dicipta untuk mengurangi populasi suatu wilayah (overpopulated, bumi sudah sempit, mamen) dan pelemahan kecerdasan masyarakat di daerah-daerah yang memiliki banyak sumber daya alam. 

Coba deh perhatikan baik-baik, negara mana sih yang masyarakatnya makmur dengan hasil sumber daya alam melimpah yang berhasil ia olah sendiri? Hampir tidak ada kan? Iya, itulah yang dinamakan propaganda. Berhati-hatilah!

Oleh karena itu, demi bertoleransi terhadap masa depan masyarakat Indonesia yang cerdas dan bermartabat, maka mari bersama kita bersikap intoleransi terhadap 'makhluk-makhluk' hasil propaganda tanpa niatan baik tersebut. Ingat, ingat, ting! (kedip-kedip mata biar ter-sepona).

Selanjutnya, salah seorang panitia dalam dialog memperingati hari toleransi internasional tersebut turut menambahkan pendapatnya. "Biasanya yang melakukan demo intoleransi adalah masyarakat awam tapi bisa juga para pembesar atau orang-orang berkepentingan yang cari panggung untuk memecah belah." 

Pernyataan ini diucapkan oleh Bang Hakki, seorang etnis Tionghowa yang sudah menetap lama di kawasan Peunayong, Banda Aceh. Beliau adalah salah seorang yang bisa dijadikan referensi untuk memberi komentar terhadap keamanan warga Tionghowa non-muslim yang hidup sejak lama di bumi Serambi Mekkah ini. 




So, setelah mendeskripsikan panjang lebar dan merujuk pada berbagai hal, kalau saya diminta untuk kembali memilih antara bebas dalam keterikatan atau terikat dalam kebebasan maka saya akan memilih untuk bebas dalam keterikatan

Logikanya sesederhana merumuskan limitasi motion dalam debat bahasa. Ukuran kebebasan berpendapat dan berekspresi sesungguhnya didapat setelah menempatkan aturan dan norma-norma. Adapun terikat dalam kebebasan akan berakhir pada kebingungan, ketidakpuasan, dan kejemuan nilai. Dengan kata lain, orang tersebut akan berhadapan dengan kemelut pemuasan kebebasan yang tak berujung.

Jadi, menurut saya, sikap toleransi itu sendiri harus dibatasi dengan definisi dan syarat yang lebih spesifik. Beruntung, Syafiq Hasyim  dalam laman berita kompas.com (15/5/2017) telah memaparkan batasan tersebut dengan cukup baik. Dia menyatakan bahwa toleransi tidak bisa melampaui batas perbedaan yang telah disepakati oleh prinsip-prinsip toleransi yaitu peaceful coexistence, kehidupan yang saling mengada dengan damai.


Menyoal Berita Banda Aceh Sebagai Kota Kedua Paling Intolerance  

Beberapa waktu lalu, kota-kota di Indonesia digemparkan oleh berita hasil riset Indeks Kota Toleran (IKT) tahun 2018 yang diadakan oleh Setara Institute. Hasil riset itu menyatakan bahwa dari 94 kota Indonesia, Banda Aceh menepati urutan kedua terendah sebagai kota yang toleran. Hasil tersebut tentu membuat gerah warga Aceh, terutama warga kota Banda Aceh, termasuk Walikotanya. 

Bak jamur, seketika potongan klaim hasil riset itu tersebar di berita-berita online dan juga sempat meriuhkan jagat sosial media. Adapun respon saya sebagai warga Banda Aceh, yang sejak dibuat hingga tumbuh seperti sekarang terus menetap di Banda Aceh, adalah santai dan senyum-senyum saja. 

Di detik itu saya, seorang lulusan pesantren yang juga menghabiskan 6 tahun masa studi di fakultas sains jurusan matematika (betah banget ya? Iya. Kalau gak didepak ada niatan lanjut sih. Hakhak.) tiba-tiba bersyukur karena pernah "benci" matematika. Iya, benar cinta dong.

Jadi, dalam salah satu pembelajaran mata kuliah kami, STATISTIKA, ada sebuah bacaan menarik yang sempat direkomendasikan oleh seorang dosen. Judul bukunya cukup menggelitik yakni How to Lie with Statistics (Cara Berbohong dengan Statistik). 




Coba tebak, ternyata hasil riset itu sangat bergantung pada penentuan instrumen, metode, sampel, cara mengolah data dan lalalala lainnya yang tidak ditampilkan ke permukaan saat hasil riset itu dipublikasikan.

Oleh karena itu, Wali kota Jakarta yang cerdas seperti Anis Baswedan  yang nasib kotanya 11-12 dengan Banda Aceh pada riset tersebut secara gamblang mempertanyakan keabsahan hasil research tersebut. 

Saya pribadi juga mempertanyakan dari mana sih para peneliti dan surveyor itu mendapat data indeks toleransi yang mereka tetapkan untuk kota Banda Aceh? Jangan katakan kalau mereka bahkan tidak datang ke Banda Aceh dan hanya mengandalkan open data dari website-website pemerintah yang mungkin jarang di-update dan kumpulan media mainstream yang hanya tertarik pada isu cambuk dan ganja? Wuhahahaha....han ek ta khem, payah ta peugot meusen khem (baca: eneg jadinya).

Makanya, anak sains, khususnya jurusan matematika dan statistika, ada baiknya bagi Anda-anda semua untuk memperdalam, tak hanya tata cara mengelola data, namun juga soalan agama, budaya dan kearifan lokal daerahnya. 

Adapun anak pesantren dan para mahasiswa/i jurusan non-sains lainnya juga wajib belajar tata cara membaca dan mengolah data. Coba pelan-pelan belajar untuk mencintai logika matematika. Cara paling ampuh salah satunya adalah dengan mengikuti akun seru nan mendidik di sosial media, contohnya akun @ngobrolmatematika di Instagram, Kuyakin kamu bakal cinta. Tujuannya apa? Sederhana sih. Agar kita semua bisa bergabung jadi anggota pembela kebenaran dan keadilan di komunitas "No Tipu-tipu Club".  Udah, jangan serius kali, fiktif belaka itu. 

Cerita Mereka yang Berkunjung dan Tinggal di Banda Aceh 

Kesan positif terhadap Aceh, terutama Banda Aceh, dan warga kotanya bukan saja saya dapatkan dari teman-teman yang berhadir pada acara dialog toleransi tersebut. Bahkan jauh sebelum itu. Walau tidak dapat dipungkiri bahwa pasti masih ada segelintir pendatang yang mungkin merasakan pengalaman diskrimasi dari individu-individu tertentu yang tidak diharapkan. Tapi tentu itu bukan karena qanun, hukum syariah atau budaya Aceh yang tidak toleran.

Ah, kalau mau jujur, Amerika saja yang menggadang-gadangkan isu HAM dan toleransi lebih layak disorot karena terbukti kerap melakukan salto perilaku terhadap kata-katanya sendiri. Ya, begitulah. 

Oke, kembali kepada positive vibe. Berikut saya sajikan segelintir kesan dan pendapat dari teman-teman luar Aceh yang pernah singgah dan menerap di Banda Aceh.  Selamat menelaah.


1. Christian Harris, Member of #RotaryPeaceFellowships from Liberia and Lives in USA

"This is the first time I come to Muslim place where everybody spontaneously gives me a warm smile while they're seeing me. You know, I have traveled to several Muslim places and most of the time they gave me a kind of weird look. I love this place. Sure, I will come back here and bring along my family ."




2. Yuspani, Pertukaran Mahasiswa Unsyiah asal Papua, jurusan Sosial Politik

"Teman-teman saya di sana (Papua) berkata, saya jangan pergi ke Aceh. Katanya, di Aceh banyak terjadi pembunuhan karena agama. Ketika saya tiba di sini, tidak ada apa-apa. Aman-aman saja."




3. Naumi, Pertukaran Mahasiswa Unsyiah asal Papua, jurusan Ekonomi Manajemen
"Rasanya saya sudah nyaman di Aceh. Apalagi sudah terbiasa berbaur."





4. Maria Teresa Zorrilla, Member of #RotaryPeaceFellowships, A Doctor from Mexico

"I feel this place similar to my place. You had conflict and we do too. Every single time I see the kind and charming youths in Aceh, I pray that our youths can be as resilient as yours. It is kind of butterfly effect. Inspiring."
 




Nah, demikianlah cerita singkat yang tidak singkat namun dipersingkat supaya kamunya enggak bosan dengan cerita Toleransi di Aceh. Semoga ada hal baik yang dapat dipelajari dari tulisan ini serta menambah wawasan para pembaca. Sampai jumpa di tulisan lainnya. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertandang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cinta, Benci, dan Segenap Toleransi "

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)