Relasi Erat Perempuan dan Air

"Bagaimana caranya aku menceritakan dengan istimewa suatu hal yang kebanyakan orang menganggap semata kewajaran?"

Hal itulah yang pertama terbersit dipikiran saat aku ingin mengisahkan sebuah elemen ajaib yang biasa kita sebut dengan nama AIR

Picture credit to the unknown author
Air adalah elemen yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Saking merasa akrab, kita jadi cenderung abai. Kita menggap kehadirannya dalam kehidupan merupakan sebuah kewajaran. 

"Lho, bukankah seharusnya demikian?" duga kita asal-asalan.

Parahnya lagi, aku masih ingat pasti, dalam pelajaran biologi, ketika air dikelompokkan dalam grup abiotik. Benda yang tak hidup. Aku bingung, tidak setuju, namun sialnya juga tak mampu membantah. 

Sejak dulu, air bagiku adalah makhluk hidup. Manusia bertahan hidup dengan mengosumsi air. Bahkan sebagian besar komponen tubuh kita pun terdiri atas air. Sehingga, menurutku, mustahil jika air tergolong dalam kelompok makhluk tak hidup. 

Demikian juga dengan kasus yang dialami kebanyakan perempuan. Peran dan kontribusinya dalam kehidupan sangatlah masif dan kontinu. Perhatian dan kasih sayangnya tumpah ruah mencakupi nyaris seluruh aspek kehidupan. Sampai pada titik ternyaman di mana masyarakat menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sebuah kewajaran.

"Ya, wajarlah perempuan di rumah saja. Ya, wajahlah istri mengurus anak. Ya, wajarlah perempuan tidak berpendidikan tinggi, toh ujung-ujung juga ikut suami." sebut orang-orang asal bunyi. 

Dua komponen makhluk hidup ini, perempuan dan air, disadari atau tidak, punya kemiripan perlakuan oleh masyarakat banyak. Kehadirannya sungguh penting namun kerap terabaikan. Hingga kelak ketika mereka berhenti ada, baru kita merasa kelabakan.

Tak percaya? Coba perhatikan betapa menderitanya warga kota Banda Aceh dalam beberapa waktu terakhir, akibat pemutusan air bergilir. Terutama mereka yang tinggal di seputaran Ulee Kareng dan Keudah. Air PDAM di wilayah mereka sudah berhari-hari ternyata tak kunjung mengalir. Kejadian semacam ini terus saja berulang. Untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) pun mereka kesulitan. Mensiasati kebutuhan tersebut, warga pun terpaksa merogoh kocek demi membeli air galon. 

Sebagai masyarakat kota Banda Aceh, terlebih perempuan, yang pernah merasakan pengalaman serupa. Saya sepenuhnya sadar betapa menderitanya hidup tanpa kehadiran air bersih. Apalagi jika harus hidup di wilayah bekas tsunami, maka air PAM adalah harapan satu-satunya. Sebab, air sumur tak lagi dapat diguna.

Namun perlu juga kita ingat bersama, membangun bendungan tampaknya bukanlah solusi paling bijak untuk permasalahan ini. Bukankah kita seharusnya menyadari bahwa warga kota ini hidup di wilayah hilir? Tanpa sumber mata air?

Dengan kata lain, bukankah sebaiknya kita menjalin kerja sama lintas sektor untuk melakukan peremajaan sumber air bersih. Misalnya dengan melakukan penghijauan dan pembersihan sampah di wilayah hulu, contohnya di Aceh Besar. Benar, masalah air bukanlah hal yang bisa diselesaikan nafsi-nafsi antarwilayah Provinsi Aceh. Ini merupakan masalah yang saling terhubung.

Bagi orang-orang yang tidak pernah mengalami pengalaman serupa, mungkin menganggap bahwa mandetnya penyaluran air bersih kota Banda Aceh bukanlah permasalahan besar. Namun, tentu tidak demikian yang dirasakan masyarakat yang bepengalaman secara langsung. Terutama, selama era pandemi covid-19 ini.

Secara umum, masyarakat Kota Banda Aceh, terlebih kaum perempuan, punya kebutuhan kurusial terkait ketersediaan air bersih. Mulai dari memasak, wudu, cuci tangan, mandi, BAK, dan juga BAB. 

Belum lagi pemenuhan kebutuhan air bagi kebersihan dan kesehatan tubuh perempuan yang mengalami datang bulan, nifas, atau pun melahirkan. Ditambah lagi kebutuhan bayi, yang popoknya harus sebentar-bentar diganti. Benar, segenting dan sepenting itu peran air bagi kehidupan.

Karenanya, layaknya memperjuangkan kesetaraan perempuan, penjagaan dan pengadaan air bersih yang tercukupi bagi kebutuhan masyarakat kota Banda Aceh juga membutuhkan kerja sama banyak pihak. Mulai dari unit terkecil, seperti keluarga, hingga pemerintahan.

Mungkin belum terlalu terlambat memperbaiki kondisi ini. Namun, jika kita terus menerus abai, maka tak tertutup kemungkinan, keluhan dan penderitaan yang dialami warga akan terus berulang. Tentu, itu bukanlah solusi menyenangkan yang kita inginkan, bukan?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Relasi Erat Perempuan dan Air"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)