Kausalitas Qanun LKS dan Potensi Kemajuan Perekonomian Aceh

Alkisah tersebutlah sebuah "kehebohan" baru yang terjadi di salah satu provinsi terujung Indonesia, yang akrab dengan gelar Serambi Mekkah, Aceh. Saking positif dampaknya bagi masyarakat dunia nyata, maya, dan sekitarnya, hal ini jadinya enggak begitu populer diberitakan. Soalnya, tipikal masyarakat negara +62 itu, katanya, lebih responsif terhadap kontroversi dibandingkan berita aksi. Nah, sayangnya kali ini temanya agak beda level sih.  Walau enggak sejalur dengan kehebohan persoalan duduk ngangkang, pemberlakuan jam malam, bahkan hukuman cambuk, tema kali ini masih seputar syariah lho. Tapi, rasanya kali ini Aceh kok kurang viral ya?

Nah, selidik punya selidik, ternyata Aceh kembali diramaikan dengan kehadiran qanun baru lho. Sebelum lanjut, yuk nyanyi dulu. Biar enggak apa kaliTuk-wak-gak-pat, "di sini qanun, di sana qanun, di mana-mana ada qanun" (dinyanyikan dengan irama lagu "Di sini senang, di sana senang"). Baiklah, cukup dulu gilanya, marilah sama-sama kita kembali ke jalan yang lurus, tapi sesekali boleh kok belok, biar enggak nabrak tembok. Ekhem... baiklah. Mari kembali serius.




Jadi, tema pembahasan kita kali ini adalah tentang disahkannya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS)-klik di Provinsi Aceh. Menariknya, qanun yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) di akhir November 2018 ini kerap dikait-kaitkan isu "pemusnahan" terhadap keberadaan bank konvensional di Aceh. Serius? Nah kan, nah kan, mulai deh hebohnya. 

Pada dasarnya,  kehadiran qanun 11/2018 ini tidak bermaksud memusnahkan atau merusak tatanan apapun dari kehidupan manusia negeri seribu satu warung kopi ini. Qanun LKS justru disahkan dengan maksud agar seluruh lembaga jasa keuangan (LJK) di provinsi Aceh menganut prinsip syariah; prinsip ekonomi yang lebih baik dan jauh lebih adil bagi mayoritas masyarakat. So, no riba-riba club yes. 



Namun masalahnya adalah pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa keuangan berbasis syariah ternyata masih sangat minim. Soalnya, jika ditanyakan, "Eh, udah pada buka rekening tabungan syariah, belum?" Masih ada yang merespons dengan, "Ah, untuk apa. Lagian konvensional dan syariah sama aja. Paling beda label doang."  Oh no, tidak sesama itu, Ferguson. 

Baiklah, demi mengurangi rasa bingung dan ketersesatan tak berujung. Berikut saya sajikan secara gamblang 10 perbedaan kentara antara bank konvensional vs bank syariah. Kita simak sama-sama ya. Kalau pun entar enggak paham, mangut-mangut aja dulu, agar terkesan terpelajar dan profesional gitu. Yaudah, yuk, capcus.


No.

Aspek
Kajian

Bank
Konvensional

Bank
Syariah

1.

Metode Transaksi

Hukum positif yang berlaku di negara Indonesia
(Perdata dan Pidana).

Syariah Islam berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadist dan fatwa ulama (MUI), seperti:
Akad al-mudharabah (bagi hasil), al-musyarakah
(perkongsian), al-musaqat (kerja sama tani), al-ba’i (bagi
hasil), al-ijarah (sewa-menyewa), dan al-wakalah (keagenan).


2.

Kesepakatan Kerja Sama

Tidak memiliki akad/kesepakatan khusus.

Terdapat akad/kesepakatan jelas sejak awal.


3.

Orientasi

Keuntungan (profit oriented) semata.

Keuntungan (profit oriented), kemakmuran, dan
kebahagian dunia akhirat.


4.

Investasi / Sistem Pengelolaan Dana

Bebas nilai (segala jenis usaha/bisnis yang menguntungan dan sesuai
hukum Indonesia).

Bisnis/ usaha halal dan sesuai syariah.




5.

Riba / Bunga Bank

Dibolehkan sesuai hukum.

Diharamkan.


6.

Keuntungan

Sesuai persentase bunga (ditentukan di awal tanpa kepastian
jumlah untung dan rugi bagi nasabah).

Sistem bagi hasil
(Nasabah dan pihak bank menanggung bersama keuntungan dan
kerugian).


7.

Promosi dan Cicilan

Promosi yang diadakan dan diberikan beragam dan berubah-ubah
dengan tujuan untuk menarik minat nasabah.


Diterapkan dengan jumlah tetap berdasarkan keuntungan yang
sudah disetujui pihak bank dan nasabah saat akad kredit. Pemberian promosi
harus disampaikan dengan jelas, transparan dan tidak ambigu.


8.

Hubungan Nasabah dan Pihak Bank


Kreditur dan debitur.

Kemitraan.

9.

Penyelesaian Sengketa

Pengadilan Negeri.

Sistem musyawarah dan sesuai syariah (tidak menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal). Serta Pengadilan Agama.


10.

Keberadaan Dewan Pengawas

Tidak ada.

Ada.

Oke. Pahamkan sekarang bedanya di mana?
Nah, bagi yang masih bingung, nanti rajin-rajin browsing bahan terkait LKS secara mandiri ya. Sejujurnya, saya mau kok menjelaskan dengan detail perihal isi dari tabel di atas. Cuma, takutnya entar kelamaan. Penjelasannya jadi panjang. Iya, sepanjang jalan kenangan dan cinta lama yang enggak kunjung kelar. Cie... cie... yang enggak bisa move on

***

Baiklah, sedikit curcol nih. Terkait rahasia 'kesambet apa saya' sehingga memproduksikan tulisan eksklusif ini. Ceritanya, tanggal 25 September 2019 lalu, saya mendapatkan undangan dari Tempo untuk menghadiri acara #NgobrolTempo yang digelar di gedung Bank Indonesia a.k.a De Javasche Bank-klik Provinsi Aceh dengan tema "Kesiapan Perbankan Terhadap Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Aceh". 

Yuhu... setelah menunggu puluhan purnama akhirnya bisa join acaranya Tempo tanpa perlu ke Jakarta. Ditambah lagi bisa masuk ke BI, menginjakkan kaki di tangga red carpet, dengan melewati pintu besi yang bernada bip, bep, bip, bep.  Memangnya curhatan sampah semacam ini penting? Ya pentinglah, secara dalam rangka pamer gitu lho. Kan enggak pa-pa jelek, yang penting sombong. Bruakakak... bruakakak.  Bercanda ya. 



Nah, selanjutnya pada acara tersebut turut diudang empat narasumber yang merupakan para ahli di bidang keuangan dan ekonomi untuk mengutarakan pendapat dan pemikiran mereka. Adapun acara ini dimoderatori oleh Y. Tomi Aryanto, Direktur Tempo.co. Sedangkan para narasumber undangan yang berhadir adalah:

1. Arifin Lubis, selaku Kepala Bank Indonesia Provinsi Aceh
2. Aulia Fadhli, selaku Kepala OJK
3. Fahmi Subandi, selaku Direktur BRI Syariah
4. Prof. Nazaruddin A.W, selaku tim perancang qanun LKS

***



Well... sebelum kita bahas lebih detail isi acara tersebut, mari sejenak kita ulang kaji kembali beberapa hal mendasar dan esensial terkait qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh. Baiklah, soal jika ditanyai orang ...

#1 Ngapain sih qanun LKS harus dibentuk di Aceh? Memangnya peraturan hukum perbankan negara Indonesia kurang gitu?




Jadi, Saudara-Saudara, begini ceritanya. Dahulu kala, terdapat sebuah Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syari'at Islam. Nah, salah satu pilar dari pelaksanaan Syari'at Islam tersebut berkaitan dengan bidang muamalah a.k.a hubungan kepentingan antar manusia. 

Ceritanya nih, dengan semakin pesat dan mengglobalnya perekonomian Aceh saat ini, maka kehadiran LKS dirasa penting. Apalagi semakin maraknya modal pihak ketiga yang masuk ke Aceh, yang konon operasionalnya tidak dilaksanakan sesuai prinsip syariah. So, kehadiran Qanun LKS di Aceh diperlukan untuk menetapkan legalitas hukum yang sah. Sehingga mendorong terwujudnya perekonomian Aceh yang Islami, gitu lho. 


#2 Sistem kinerja qanun LKS terhadap bank syariah gimana sih?


Poin penting yang saya tangkap dari kehadiran qanun ini adalah upaya mendorong perbankan dan nasabah untuk melakukan bagi hasil, bukan sekadar bagi untung. Konsep bagi hasil itu terlihat jelas dari aqad/kesepakatan awal antara nasabah dan pihak bank tentang hasil bisnis yang kelak diperoleh. Konsep keuntungan dari persentase bunga bank (riba) jelas ditolak di sini. 

Hal penting yang perlu kita ingat bersama adalah bank syariah itu lembaga bisnis, selayaknya bank konvensional, bukan lembaga sosial atau amal. Jadi, kesepakatan yang nasabah lakukan dengan pihak bank syariah juga dalam bentuk kesepakatan bisnis. Namun bank syariah tidak melanggar prinsip agama Islam dan moral sosial yang sudah ditetapkan dalam Alquran dan hadis selama mengelola bisnis tersebut.


Seperti yang dituturkan oleh Bapak Arifin Lubis, Kepala Bank Indonesia Provinsi Aceh, bahwa dengan adanya pemberlakuan qanun bank syariah maka terdapat potensi bagi perekonomian Aceh untuk bangkit kembali. Prinsip syariah memberikan keadilan untuk menyejahterakan semua kalangan. Sehingga mencegah ketimpangan yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. 

Sejalan dengan itu, Kepala OJK, Bapak Aulia Fadhli turut menambahkan bahwa prinsip syariah tidak akan berjalan (sah) jika kedua belah pihak, nasabah dan pihak bank, tidak bersepakat dalam membagi hasil. Sehingga prosesi aqad pada transaksi bank syariah menjadi mutlak. 


#3 Apakah penerapan qanun LKS menjamin kesejahteraan masyarakat Aceh?

Jawabannya adalah "Belum Tentu". Mengapa?
Karena terbukti bahwa tingkat kesadaran literasi finansial berbasis syariah masyarakat Aceh masih tergolong rendah, yaitu di kisaran 21,09% dari perseratus orang subjek penelitian. Uniknya, tingkat inklusi keuangan syariah di Aceh tergolong cukup tinggi, yaitu 41,45%. 

Dapat diartikan bahwa masyarakat Aceh yang memilih menggunakan jasa bank syariah bisa jadi dikarenakan kepercayaan atau berlandaskan hubungan emosional, bukan karena pemahaman akan fungsi muamalah berbasis syariah itu sendiri. Dengan kata lain, masih banyak masyarakat Aceh yang membutuhkan edukasi yang lebih mendalam terkait literasi finansial berbasis syariah. Sehingga mereka tidak lagi menggunakan layanan syariah hanya karena ikut-ikutan semata atau hanya berbasis niatan dasar untuk menghindari riba saja. 


#4 Terus, solusi apa yang dapat ditawarkan agar qanun LKS menyejahterakan? 

Nah, coba deh perhatikan diagram bulat-bulat, biru dan hijau, di bawah. Mau tidak mau, secara provinsi maupun nasional, harus diakui bahwa kita tergolong masyarakat dengan literasi tertinggal, tapi tetap malas belajar dan super santuy. Tanya kenapa? Jawabannya adalah karena Tuhan bersama orang-orang santuy. Bruakakak... Bruakakak. Bercanda ya. 

Oke, gampangnya gini deh. Indeks literasi keuangan itu artinya tingkatan kita memahami persoalan dan informasi terkait finansial a.k.a urusan keuangan. Ingat, ada potongan -sial di ujung kata finansial. Artinya, jika kita malas belajar dan mencari informasi terkait literasi keuangan, maka jangan tanya mengapa kehidupan masyarakat kita tidak pernah sejahtera. Paham kan ya?

Adapun indeks inklusi keuangan itu artinya seberapa besar jumlah masyarakat Indonesia yang menggunakan bank (baik konvensional maupun syariah) untuk menyimpan dan melakukan transaksi keuangan. 


Kembali ke gambar bulat-bulat di atas. Kita bisa lihat bahwa sangat banyak masyarakat Indonesia yang menggunakan bank konvensioanl (67,82%) padahal yang punya pemahaman akan literasi finansial bank konvensional justru hanya 29,66% saja. Artinya lebih dari setengah nasabah bank konvensional menggunakan layanan tersebut hanya karena ikut-ikutan atau tanpa pilihan lain saja. 

Menariknya, walau persentase penggunanya masih tergolong sangat kecil (11,06%), dapat kita lihat secara nasional bahwa nasabah  yang memilih menggunakan bank syariah memiliki keilmuan atau pemahaman yang cukup baik (8,11%) saat memilih menggunakan layanan bank syariah. Artinya, walau masih baru, terdapat potensi yang besar bagi bank syariah untuk berkembang di Indonesia, terutama di Aceh yang terkenal sebagai daerah yang menjunjung syariah. 

#5 Cara masyarakat Aceh menyikapi kehadiran qanun LKS agar perekonomian masyarakatnya bangkit, gimana sih?

Weehhh... sejujurnya saya juga kurang leluasa merespons pertanyaan semacam ini. Secara masyarakat missqueen  seperti saya juga belum sepenuhnya mengerti strategi efektif macam apa yang bisa dikaitkan antara kehadiran qanun LKS dengan kesejahteraan rakyat biasa. Kalau kehadiran peraturan, hukum, dan qanun yang dapat menyejahterakan para pejabat, konglomerat, dan juga penjahat, a.k.a koruptor misalnya, sih pasti ada, malahan banyak. Hehe...

Namun, terdapat strategi jitu yang sempat dibagikan oleh para narasumber di acara #NgombrolTempo lalu. Yuk, kita coba telusuri sama-sama.



Strategi 1: Dalami pengetahuan terkait literasi finansial berbasis syariah

Ini penting karena dalam dunia bisnis, kita harus paham aturan main. Gimana mau menang dan sejahtera, ranahnya aja kita enggak paham gimana. Enggak masalah sih kalau kita terlanjur bodoh, tapi jangan kebangetan kali. Yuk, kita coba mulai pelajari pelan-pelan dari sekarang.

Strategi 2: Kurangi jajan ke luar, bersama manfaatkan produk lokal

Kata Bapak Fahmi Subandi, Direktur BRI Syariah, bahwa untuk mengelola potensi Aceh dibutuhkan 3 kualitas utama, yaitu alam, manusia, dan uang. 

Kata beliau, uang masyarakat Aceh jangan dihabiskan ke luar. Sehingga, perputaran uang di Aceh dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Aceh sendiri. Budaya konsumtif seharusnya dikurangi. Masyarakat Aceh harus membudayakan kegiatan produktif. Bank akan senang memodali kegiatan produktif para nasabah karena sesuai dengan prinsip bisnis bank itu sendiri.

Strategi 3: Kenali potensi alam dan sistem bisnis lokal maupun nasional

Saya sempat tersepona saat Bapak Arifin Lubis membicarakan sustainable development Aceh terdiri atas 3 unsur yakni pertanian, perikanan, dan halal tourism. 

Jadi kehadiran bank syariah nantinya, idealnya, digunakan untuk pendanaan pengembangan ketiga sektor tersebut. Misalnya katakanlah sektor pertanian. Siapa sih yang tidak kenal potensi nilam Aceh yang mendunia? Rotan terbaik Indonesia juga salah satunya berasal dari Aceh. Terus, untuk santapan, tentu beras asal Aceh dan bawang merah Aceh yang tak dapat dipungkiri kelezatannya. 


Tapi masalahnya adalah masyarakat Aceh belum fokus mengelola bahan mentah menjadi produk. Sehingga yang dijual cenderung berupa bahan mentah atau setengah jadi. Katakanlah padi asal Aceh, yang alhamdulillah, setiap tahunnya produksinya mencapai 1,6 juta ton. Padi yang dibutuhkan oleh masyarakat Aceh sendiri hanya sekitar 600 ribu ton. Sisanya pagi lain yang tidak diolah dijual ke luar provinsi begitu saja. Terus, dikelola dan diganti dengan merk dari luar provinsi Aceh. Jadi, manfaat perdagangan beras berlimpah yang perputaran uangnya seharusnya terjadi di Aceh, akhirnya tidak terjadi. 

Begitu juga dengan kasus bawang merah. Jelas Aceh punya bawang merah terbaik. Namun jika kita ke pasar, yang kerap kita temukan justru bawang merah asal Cina dan Thailand. Tanya kenapa? 


Baiklah, ternyata perjalanan dan perjuangan kita masih panjang cuy. Oleh karenanya, mari berbenah bersama. Bisa botak kepala kalau cuma ngerjain dan ngeberesin persoalan kesejahteraan umat sendiri-sendiri. Mari bersatu bak kesatuan avengers  atau power ranger, agar hidup kita diliputi kesejahteraan dan tidak terjerumuh ke dalam danger.  Sekian dulu curcolnya. Semoga pembaca pada paham akan tulisan dan rangkuman yang entah hapa-hapa. Sampai jumpa.[]

Subscribe to receive free email updates:

3 Responses to "Kausalitas Qanun LKS dan Potensi Kemajuan Perekonomian Aceh"

  1. Wah, detail banget penjelasannya kak. Jujur sih Yel menggunakan perbankan syariah bukan karena mengerti tentang sistemnya, tapi karena keharusan untuk buat bank, lantaran berhubungan dengan Arpus 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya. Kakak pun dapat ilmu ini pascaikut acara #NgobrolTempo. Ditulis dan dibagikan di blog ini agar teman-teman lain bisa dapat ilmunya juga.

      Hapus
  2. Ada tidak kak negara tetangga yang juga melaksaakan seperti kegiatan qanun lks di aceh tersebut ?

    BalasHapus

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)