Guru "ilegal" itu bernama KEHIDUPAN



Dalam kurikulum mana pun, dalam undang-undang apa pun dan dalam peraturan bagaimana pun tak pernah ada guru yang diperbolehkan memberikan ujian sebelum penjelasan.  Tak ada satu pun guru di dunia ini yang diizinkan untuk mengkritisi sebelum mengajari. Serta tak ada yang namanya remedial tanpa standar baku nilai kelulusan. Namun sayangnya, segala idealisme dan keberaturan tersebut sama sekali tak berlaku pada guru yang satu ini. Manusia menjulukinya dengan sebutan KEHIDUPAN.

Sependek nafas dan sepanjang ingat, kehidupan menjadi guru yang paling aneh. Guru yang bisa kita cintai dan benci secara bersamaan. Guru yang kita hindari namun rindukan di hari-hari kemudian. Guru yang ingin kita bunuh ketika kesal dan selamatkan ketika merasa kasihan. Guru yang dengan santai memberi ujian di muka dan menjelaskan satu persatu pembelajarannya belakangan, tepatnya setelah kita gagal total, tentu tanpa merasa berdosa sedikit pun. Iya, sesosok guru ilegal yang dengannya kita dimintai untuk berguru sepanjang hidup. Menyebalkan tapi memang perlu.



Kita bisa saja lari, menghindari, dan pura-pura menafikan keberadaannya. Tapi sialnya, entah dia kursus di mana, kehidupan selalu saja berhasil menggurui kita. Dia tak terlalu ambil pusing pada kejengkelan atau kepasrahan kita dalam menerima ujian dan pembelajaran darinya. Ingat, dia guru ilegal, tak peduli standardisasi, karena dia lulus seleksi langsung dari Tuhan. Dia cukup jemawa memang.

Bagi saya pribadi, kehidupan tak selamanya memberikan ujian tiba-tiba, bermodal taklid buta semata. Sesekali dia memang menghadirkan kisi-kisi, terkadang lewat mimpi. Iya, kisi-kisi rasa hoaks. Entah iya, entah tidak. Sadarnya kapan? Setelah kejadian. Bingungkan? Sama, kamu tidak sendirian.



Baiklah, saya contohkan saja. Ketika momen gempa dan tsunami yang terjadi di Aceh akhir tahun 2004 silam. Katakalah setahun sebelumnya, ingat 365 malam sebelum hari kejadian. Mungkin, waktu yang lebih dari sekadar cukup untuk melupakan mantan, khusus bagi yang punya tentunya. Sebuah kisi-kisi ujian pernah hadir menyapa alam bawah sadar. Gelombang air pasang menyapu daratan, anehnya jernih, mengejar saya sekeluarga. Kami berlari mendaki gunung. Air meluap dan meninggi, nyaris mencapai puncak gunung yang kami daki. Lelah berlari, saya tersungkur, menangis dan berdo'a dalam mimpi. Seketika air tak lagi meluap dan berhenti persis sebelum menyentuh telapak kaki. 

Saya terjaga berurai air mata, bingung dan kesal secara bersamaan. Semacam orang yang baru selesai menonton layar tancap liga bola dan pemain kesayangannya kalah telak. Atau semacam rasa yang ditimbulkan dari efek mati listrik di hari minggu, padahal sudah bela-belain bangun pagi, mandi, sarapan dan duduk rapi di depan layar televisi demi menonton serial kesayangan, katakanlah Doraemon. Iya, rasanya sehampa itu.





Akhirnya, mimpi buruk nan aneh itu tentu tak saya kabari ke media, secara saya bukan lulusan universitas per-nujum-an. Kecuali pada seorang wanita yang telah rela membelah badannya menjadi dua demi menghadirkan makhluk hidup yang dinamakan saya. Tentu saya harus mengabari hal aneh semacam ini kepadanya. Secara saya telah dikontrak sebagai pengikut setianya oleh Tuhan sejak masih di awan-awan. Masa saya harus kalah bakti dibandingkan ular Orochimaru. Gengsi tentu.

Baiklah, kembali ke topik kisi-kisi sang guru ilegal. Untuk seorang yang hampir tak pernah bermimpi dalam tidur, saya selalu khawatir kalau-kalau ada mimpi yang nyangkut, walau sekadar numpang lewat dan sialnya saya ingat. Apalagi jika ada mimpi yang terlalu jelas ketidaktahuan arah dan artinya. Itu semacam beban yang menambah angka gravitasi bumi yang seharusnya cukup di 9,8 m/s2 saja.

Alhasil, setahun kemudian, secara mendadak sang guru ini bertamu ke Aceh dan bertubi-tubi memberikan soal untuk diisi. Rasanya saya semacam mengikuti tes CAT, SBMPTN dan UN kemudian disusul tes hafalan qur'an 30 juz plus tabel unsur periodik serta nama-nama latin kerangka manusia dan tumbuhan dalam satu waktu. Pastinya, tanpa persiapan. Iya, tentu kepala rasanya ingin pecah dan seketika ingin muntah darah. Kira-kira sebegitu babak belur-nya.

Tentu saya begitu takut, marah, dan dendam secara bersamaan. Ujian semacam itu rasanya tidak layak. Tapi guru semacam kehidupan tak mau tahu. Katanya, kisi-kisi ujian sudah dikirim sejak setahun lalu. Semakin kesal dan uring-uringan rasanya.  Iya, asal kalian tahu, guru semacam itu memang ada di dunia ini. Sekadar mengingatkan agar kalian tidak terlalu kaget merasa terbebani menghadapinya seorang diri. 




Namun yang anehnya. Entah meminta susuk ke dukun mana. Setelah memporak-porandakan kita dengan ujian yang tak masuk akal dan beragam kegagalan. Sang guru hadir kembali dengan tebaran pesonanya. Mengeluarkan satu persatu petuah menyihir yang akan kita iyakan kebenarannya. Kita mulai belajar dan mengambil hikmah dari ujian tersebut. Tetap kesal namun tunduk. Perlahan mengganti kebencian dengan rasa simpati dan empati. Kemudian mulai menerima kenyataan, tentu beriring penolakan yang kita buat-buat sendiri demi jual mahal karena begitu dendam dengan ujian yang ia beri. Namun, pada akhirnya, kita belajar hal penting yang mungkin tidak pernah diajarkan oleh guru lainnya. Kebijaksanaan, pengertian dan rasa kasih sayang, bukan saja untuk sesama makhluk hidup lainnya tapi juga untuk diri kita.




Kehidupan itu guru titisan Tuhan. Dia terlatih dengan baik namun juga unik, jika tak ingin disebut kejam. Tak ada angka standardisasi kelulusan pada pembelajaran dan ujian yang ia hadirkan. Kecuali rasa syukur dan ikhlas. Angka kelulusan terabstrak dari standar penilaian logika. 


Selamat Hari Guru!!!
05102018

Saya, Rumah.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Guru "ilegal" itu bernama KEHIDUPAN"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)