Lasenas 2018, Ketika Kearifan Lokal Aceh Dipandang Sebelah Mata





Beberapa waktu lalu, tepatnya sejak tanggal 27 April – 1 Mei 2018, acara Lasenas (Lawatan Sejarah Nasional) ke-16 dilangsungkan di Aceh. Ini kali kedua Aceh menjadi tuan rumah, setelah sebelumnya pernah menjadi tuan rumah Lasenas ke-2 pada tahun 2004, tepatnya sebelum bencana tsunami melanda. Lasenas merupakan acara tahunan yang digelar oleh Direktorat Sejarah Dirjen Kebudayaan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Untuk tahun ini, acara Lasenas sepenuhnya dikelola oleh Pemerintahan Pusat bekerja sama dengan Komunitas Historia Indonesia (KHI). Acara nasional ini bertujuan mulia yakni untuk mengajak para siswa Sekolah Menengah Atas mengenal lebih dekat sejarah dengan cara yang asyik dan berbeda. Para peserta dari seluruh Indonesia diajak untuk melawat langsung tempat-tempat bersejarah dari berbagai wilayah di Indonesia sembari mendokumentasikan info-info tersebut melalui media gambar, tulisan bahkan video. Namun masalah muncul ketika panitia tidak sepenuhnya menggubris kearifan lokal setempat di mana para peserta melakukan lawatan sejarah.


Pada dasarnya para peserta Lasenas 2018 dengan bijak mematuhi kearifan lokal Aceh dengan berpakaian sopan. Bahkan sebahagian peserta perempuan dari luar Aceh tampak menggunakan jilbab dan kerudung selama lawatan. Namun, masalahnya terdapat pada panitia lawatan sejarah yang tampak kurang mengindahkan kearifan lokal. Panitia tidak menyediakan waktu luang khusus bagi para peserta muslim untuk melakukan ibadah salat selama lawatan. Acara yang digelar selama 5 hari 4 malam itu seakan hanya memberi dua opsi bagi para peserta kala mengunjungi tempat sejarah. Para peserta seakan diminta memilih untuk mendengar pemaparan tempat lawatan atau mencuri-curi waktu untuk beribadat. Kesulitan untuk melaksanakan salat di negeri Serambi Makkah menjadi hal yang tabu namun sayangnya hal ini terjadi begitu saja.




Ditambah lagi dengan penggunaan alarm sirene TOA oleh panitia untuk membangunkan peserta Lasenas di pagi hari. Perlu diketahui bahwa tempat peserta bermalam selama lawatan sejarah di Banda Aceh dan Aceh Besar adalah asrama haji. Wilayah tersebut pernah terkena efek tsunami yang cukup parah. Jadi tak heran, sebahagian peserta dari Aceh terbangun dan lari terbirit-birit mengira sirene tersebut sebagai alarm peringatan akan terjadinya tsunami kembali. 

Tak hanya itu, saat melayat di makam Malahayati, selepas berdoa, panitia menyerahkan cinderamata kepada seorang pemapar sejarah dari Aceh. Masalah muncul setelah penyerahan cinderamata, panitia mengajak para peserta bertepuk tangan. Refleks hampir seluruh peserta mengikuti instruksi dan pemakaman Pahlawan Nasional Malahayati seketika bergemuruh dengan gema tepukan tangan. Beberapa peserta lokal asal Aceh berusaha meredam agar peserta tidak melanjutkan gemuruh suara tepukan tangan tersebut di makam karena dianggap tidak etis.



Dari tiga hal yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa panitia pusat yang menggelar acara Lasenas 2018 tidak memahami atau tidak sepenuhnya menggubris kearifan lokal di Aceh. Hal itu berdampak kepada kecewanya sebahagian besar peserta dari Aceh bahkan luar Aceh, terutama yang beragama Islam. Mereka menyayangkan bahwa Aceh, yang masyhur dengan gelar Serambi Makkah ini, tidak memberikan kenyamanan bagi para peserta Lasenas untuk beribadat. Kesalahpahaman dalam manajemen kepanitiaan Lasenas 2018 tanpa disadari telah mencoreng nama baik Aceh di kancah nasional.

Oleh sebab itu, saya sebagai salah satu peserta Lasenas 2018 perwakilan komunitas asal Aceh mengharapkan agar panitia perwakilan Direktorat Sejarah Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan (Kemendikbud), dan Komunitas Historia Indonesia (KHI) untuk meminta maaf serta memberikan klarifikasi secara jujur dan terbuka terkait perihal tersebut kepada semua pihak terutama peserta Lasenas 2018. Sehingga, nama dan martabat Aceh yang telah tercoreng terpulihkan kembali. 

Saya juga berharap kelak siapa pun yang akan menggelar acara di Aceh untuk secara rendah hati mempelajari kembali khazanah dan kearifan lokal Aceh sebelum menggelar acara. Diharapkan pula panitia pusat untuk melakukan konsultasi dan kerjasama dengan panitia daerah yang tepat sehingga hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Demikian, semoga hal ini dapat ditindaklanjuti secara bijak oleh panitia yang bersangkutan. 

***


Baca juga artikel terkait Lasenas 2018 dari penulis lainnya:








Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lasenas 2018, Ketika Kearifan Lokal Aceh Dipandang Sebelah Mata"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)