Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 4

 ~Hari ke-4 Lasenas 2018~

Selepas melawat tempat-tempat bersejarah di Banda Aceh dan Aceh Besar, akhirnya peserta Lasenas berangkat ke Sabang. Horrayyy!!! 

  • Perjalanan Menuju Sabang 
Melengkapi perjalanan di penghujung bulan April 2018, tepatnya pada pagi senin, seluruh peserta Lasenas 2018 check out dari penginapan Asrama Haji di Banda Aceh. Layaknya saat pertama tiba di Banda, para peserta disibukkan dengan berbagai barang bawaan mereka masing-masing. Dari pantauan saya, barang yang paling ribet dibawa dan butuh perjuangan yang cukup besar yakni pakaian daerah. Dalam hati saya sempat terbersit puji, "Anak-anak muda ini sangat tabah mengurus diri, ah sungguh keren sekali."


Tepat pukul 06.30 WIB, bus para peserta berangkat menuju pelabuhan Ulee Lheue. Wajah sebagian besar peserta tampak lesu, namun tetap tersirat sebaris rasa gembira dari binar mata mereka. Siapa sih yang tak suka ke Sabang? Saya saja yang kerap ke Sabang tak pernah bosan dan selalu merasa deg-degan tiap kali kembali ke sana. Apalagi bagi para peserta yang baru pertama kali ke Sabang dan datang jauh-jauh dari seluruh penjuru Indonesia. Akhirnya, sempat juga mengunjungi titik nol km Indonesia ya.

Tiba di pelabuhan, pukul 7 lewat sekian-sekian, suasana masih cukup sepi. Kami menunggu kapal cepat yang telah dibooking panitia nyaris satu jam lamanya. Hari itu cukup cerah, namun sekilas saya melihat suasana alam di tengah samudera agak kelam. Sepertinya perjalanan laut kali ini akan baik-baik saja. Andai pun kapal harus diguncang amukan gelombang, hanya sesaat. Ketika kapal tiba, kami pun berangkat. 


Selain dikenal sebagai kota pariwisata yang kaya akan sejarah, Sabang dipercaya oleh masyarakat sebagi kota keramat. Pasalnya, banyak ulama yang tinggal dan meninggal di Sabang. Oleh karena itu, masyarakat Sabang sangat menjaga adat dan tradisi yang berkaitan dengan keseimbangan alam dan keislaman. Sebagai contoh, banyak masyarakat percaya bahwa saat melakukan penyeberangan dari pelabuhan Ulee Lheue menuju pelabuhan Balohan, para penumpang kapal dianjurkan untuk tidak beria-ria (terlalu bergembira, tertawa terbahak-bahak, bernyanyi keras-keras, bercanda kelewat batas, dan sebagainya). Hal seperti itu dianggap merusak ketenangan alam. Sehingga, ombak seketika bisa mengganas dan badai bisa saja tiba-tiba ikut menerpa. Aturan-aturan tak tertulis seperti itu biasa dikenal dengan istilah kearifan lokal atau local wisdom. 
 
Kubu Istirahat di Tempat, Grak!
Proses penyeberangan dari Banda Aceh menuju Sabang dengan menggunakan kapal cepat menghabiskan waktu lebih kurang 45 menit. Selama di kapal, peserta Lasenas terbagi ke dalam dua kubu. Kubu istirahat di tempat, grak dan kubu aktif 24 jam, non-stop. Setelah itu tibalah kami semua di Sabang.
 
Kubu Aktif 24 jam non-stop

  •  Lawatan ke Tugu Nol Kilometer
Setiba di pelabuhan Balohan, Sabang, kami pun bersiap-siap untuk mengunjungi tempat lawatan pertama yaitu Tugu 0 Km Indonesia. Namun, terdapat sedikit kendala yang menguras cukup banyak waktu. Pembagian mobil dan anggotanya yang lama dan bertele-tele. Kami menghabiskan lebih dari 1 jam hanya untuk mendengarkan pengumuman siapa ditempatkan di mobil mana. Awalnya saya menduga bahwa pembagian tersebut bertujuan untuk memudahkan peserta ketika nanti diantar ke penginapan yang berbeda-beda. Namun ternyata ...

Brum...brum... satu persatu mobil pun melaju. Setelah berkendaraan menggunakan mobil jenis L300 selama lebih kurang 15 menit, tibalah peserta di tugu 0 Km. Perlu diketahui bahwa tugu 0 Km Indonesia sesunggunya bukan terletak di Sabang namun di Pulau Rondo. Sebuah pulau tak berpenghuni, sejauh 15 km keluar pulau Sabang, yang dapat dicapai dengan menumpang kapal TNI yang berpatroli di arena tersebut. Pulau Rondo memiliki tugu 0 Km-nya sendiri, namun sangat sederhana. Konon katanya pulau Rondo memiliki sumber kekayaan alam yang sangat besar sehingga tidak sembarangan orang boleh ke sana. Oleh sebab meninjau kemudahan akses dan keamanan, akhirnya dibangun tugu 0 Km Indonesia di kota Sabang. Namun, ada satu hal yang menjadi tanda tanya besar bagi saya pribadi, okelah karena alasan akses akhirnya kita punya dua tugu nol km yang terletak di pulau Rondo dan di pulau Sabang. Tapi, kira-kira kenapa ya lagu wajib nasional kita juga memakai lirik dari Sabang sampai Merauke dan menafikan keberadaan pulau Rondo?


Baiklah, kembali lagi ke agenda kegiatan peserta Lasenas 2018. Setiba di tugu 0 km, para peserta melakukan beberapa kegiatan. Seperti menampilkan yel-yel grup, mendengarkan pemaparan, dokumentasi tempat lawatan hingga makan siang. Selepas itu, tepatnya pukul 12.30 WIB panitia meminta para peserta untuk berkumpul di parkiran mobil, tepatnya di samping mushala. Tak beberapa lama, azan Zuhur pun berkumandang. Sebahagian peserta yang telah berkumpul tidak beranjak lagi karena panitia menginstruksikan bahwa peserta akan segera berangkat ke penginapan masing-masing. Namun saya dan beberapa peserta Lasenas lainnya memutuskan untuk salat terlebih dahulu, bukan trauma tapi waspada, dari pada-dari pada. Selepas menghabiskan waktu 10 menitan untuk menunaikan salat Zuhur, kami kembali ke tempat parkiran. 


Ternyata, hal yang menurut sebagian besar peserta Lasenas amat mengganggu terjadi. Seluruh perserta Lasenas diminta berganti mobil. Sederet ucapan tak berbunyi, Hah? Nah? Kok? Ngapain?, tercermin dari raut wajah peserta Lasenas selepas pengumuman pergantian mobil dan anggota. Tak ingin menyalahkan siapa-siapa dan tak niat untuk mengucapkan apa-apa, saya pun hanya tersenyum getir. Kami menghabiskan waktu nyaris 2 jam hanya untuk gonta ganti mobil. Jika dijumlah dengan waktu yang dihabiskan saat pemilihan mobil di pelabuhan, maka sungguh kami telah menyia-nyiakan waktu lawatan selama 3 jam. Akhirnya dalam bungkam, saya menyadari satu hal. Ternyata lelah lawatan tak seberapa dibandingkan lelah menunggu hingga bosan tanpa kepastian. Layaknya ungkapan dari Jules Renard, seorang penulis asal Perancis, "Being bored is an insult to oneself."

  • Perjalanan Menuju Tempat Penginapan
Pukul 03.00 siang, berangkat dari tugu 0 km, akhirnya kami tiba di penginapan Montana. Beberapa teman komunitas mengambil kunci dan langsung berhamburan menuju kamar. Awalnya saya heran ada apa, ternyata mereka mengejar waktu salat Zuhur yang tinggal sebentar lagi. Selepas mereka salat, saya pun bertanya, "Kenapa baru salat sekarang? Tadi kan kita menunggu cukup lama di parkiran? Mereka pun menjawab, "Karena belum ada kepastian mendapatkan mobil yang mana, anggota siapa dan tempat penginapan di mana, jadi kami enggak berani beranjak kecuali menunggu." Oke, saya akhirnya paham alasannya. 

Kemudian dua teman sekamar saya memilih untuk merebahkan badan, mencoba beristirahat. Sedangkan saya yang terindikasi gerah akut memilih mandi. Selepas berpakaian dan mengambil ancang-ancang untuk beristirahat, tiba-tiba saya teringat sesuatu. "Kira-kira jam berapa ya kita bakal berangkat ke 3 tempat lawatan lainnya?" Celetuk hati saya mengira-ngira. Tapi tak satu pun di antara kami yang tahu. Berhubung sebelumnya panitia pernah berpesan bahwa para anggota Lasenas akan dimasukkan ke grup WA untuk mendapatkan informasi selama acara, namun sayangnya kami (awak komunitas) tak satu pun diundang ke dalam ruang obrolan bahkan hingga acara selesai. Jangan tanya kenapa, saya juga tidak tahu alasannya. 

Selang beberapa saat kemudian, azan Ashar berkumandang. Saya yang sudah wudu selepas mandi, langsung menunaikan salat Ashar. Percayalah, karena saat itu saya merasa tiba-tiba tak enak hati. Selepas salat, saya mencoba menghubungi awak komunitas lainnya yang menginap di tempat berbeda. "Kalian sedang apa dan lagi di mana?" Sebuah pesan daring saya kirimkan melalui gawai kesayangan. "Kami udah di Pelabuhan Container Terminal 3 (CT3) Yu, ke sini terus ya." Saya cukup terkejut dan bertanya-tanya, "Ngapaen di CT 3? Tuh tempat gak ada dalam daftar lawatan."

Tuk...tuk...tuk..., tiba-tiba pintu kamar kami diketuk. "Semuanya, kita berangkat sebentar lagi ya. Kami tunggu 10 menit lagi. Yang telat, kami tinggal," ujar suara entah siapa yang kami duga panitia. Kak Wanti dan Yus terkejut karena baru terjaga dari tidur mereka. Saya masih tertegun dan bingung, terus bertanya-tanya, "Kita sebenarnya mau berangkat ke mana?" Sekoyong-koyongnya, saya bukannya buru-buru ganti baju namun justru terdiam seribu bahasa. 

Syukur tiba-tiba Yelli, salah seorang anggota komunitas perwakilan I Love Songket Aceh, datang dan berkata, "Kita mau ke acara penutupan di CT3. Pakai baju daerah ya." Akhirnya saya paham. Bak kecepatan cahaya dan kegaduhan angin topan, kami pun siap berkemas hanya dalam waktu 10 menit. Sebuah prestasi yang layak diberi rekor Muri. Sungguh berpakaian formal semacam menggunakan baju khas daerah atau nasional dalam waktu 10 menit bagi seorang perempuan pasti tidaklah mudah. Setelah buru-buru menuruni tangga, sepersekian menit kemudian, kami pun berangkat dengan pakaian indah tanpa riasan wajah. Jarak dari hotel Montana ke CT3 tidaklah jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit. Di dalam mobil tersebutlah, saya dan beberapa teman perempuan lainnya berperang memainkan eyeliner, lipstick, bedak dan blush on ke wajah. Jika diingat sekarang jadi lucu tapi dulunya tidak.

  • Tempat-tempat Lawatan Sejarah di Sabang
Sebelum membagikan kisah penutupan acara Lasenas 2018 yang diundur tiba-tiba, berikut saya sajikan daftar tempat lawatan sejarah yang seharusnya dapat dikunjungi oleh peserta dengan memanfaatkan 3 jam waktu gonta ganti mobil yang sia-sia. 

   1.) Rumah Sakit Jiwa Sabang



   2.) Europeesche Lagere School


   3.) Sign Post


  •  Acara Penutupan Lasenas 2018
Kembali ke kisah perjalanan menuju CT3. Tiba diparkiran, kami melihat sebagian peserta sedang bersiap-siap untuk tampil. Tampaknya di CT3 sendiri sedang berlangsung acara, jika tidak salah, Pentas Pesona Budaya Tradisi Pesisir. Dari jauh saya dapat mendengarkan nama-nama peserta Lasenas yang karyanya terpilih sebagai juara. Mereka semua diminta naik ke panggung untuk menerima hadiah. Saat itulah saya menyadari bahwa acara penutupan Lasenas ternyata bermodalkan panggung pinjaman acara lain. Selidik punya selidik, ternyata acara penutupan Lasenas berbentrokan dengan acara penutupan Pentas Pesona Budaya Tradisi Pesisir tersebut. Sehingga jadwal penutupan yang seharusnya malam, tiba-tiba berubah dan pindah ke sore hari. Saya penasaran, apa penyebab jadwal penutupan dua acara besar itu bisa saling bentrok. Apakah karena minimnya komunikasi atau terdapat penyebab lain yang tidak kita ketahui?


Setelah penyerahan hadiah, acara dilanjutkan dengan tampilan pertunjukan khas daerah masing-masing. Saat mencari tempat duduk di bawah teratak, saya sempat bertanya kepada peserta Lasenas asal Aceh. "Dari Aceh nampilin apa?" Sejurus kemudian mereka menjawab, "Dari Aceh enggak tampil apa-apa, tuan rumah." Saya meng-oh-kan, lalu mengangguk pertanda paham. Satu persatu peserta tampil membawakan pertunjukan kesenian daerah provinsi masing-masing. Ada yang membawakan tampilan perprovinsi namun ada pula yang bersifat gabungan. Sayangnya, baterai gawai saya saat itu habis. Saya tak sempat merekam apa pun atau mengambil foto siapa pun di atas pentas.  Namun semua keindahan tampilan itu sudah saya rekam baik-baik dalam memori dan hati. Ternyata menikmati momen pertunjukan tanpa gawai memberikan sensasi kesenangan tersendiri. 

Di antara semua kesenian daerah yang sempat ditampilkan di atas pentas, yang paling saya sukai adalah penampilan Madihin dari Kalimantan Selatan. Madihin ini sejenis seni tutur, semacam hikayat, tapi punya ritme. Diiringi dengan taburan rebana. Isi liriknya kocak. Kreatiflah pokoknya. Oh ya, selain itu, ada satu lagi tampilan yang cukup menggemparkan yakni pembacaan puisi. Saya lupa siapa nama gadis manis nan berbakat ini. Yang jelas pembacaan puisi olehnya menggelegar hingga berhasil membuat berdiri bulu roma. Nah, bagi yang penasaran, ini dia foto pembaca puisinya. Iya, si gadis berbaju biru itu.


Namun, di tengah kegembiraan dan meriahnya tampilan, tiba-tiba saya mendapatkan laporan jika ada sebagian peserta Lasenas yang berduka cita di luar area panggung. Bahkan ada yang menangis saking sedihnya karena giliran tampilan mereka tiba-tiba dibatalkan berhubung waktu yang tak cukup. Kerja keras dan latihan hingga bergadang tengah malam serasa sia-sia. Memang kehidupan ini penuh kejutan. Terkadang manis seperti sekotak coklat. Namun tak ayal kerap terasa laksana bianglala, jatuh terjerembap sebelum melejit tinggi ke angkasa. Jadi, bersabarlah, janganlah bersedih hati lagi ya adinda.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 4"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)