Perempuan Tidak Butuh Pendidikan Tinggi. Kata Siapa?


Dewasa ini, istilah kesetaraan gender kerap digalakkan di kalangan masyarakat kita. Berbagai pihak, baik dari kalangan laki-laki maupun dari kalangan perempuan sendiri, memberikan dukungan dan sumbangsih yang cukup besar guna membantu serta mendukung program tersebut agar terus bergerak ke arah yang lebih baik.


Karena, di luar kesadaran kita semua, ternyata deskriminasi terhadap pihak perempuan masih terus berjalan, baik secara terang-terangan maupun secara halus dan tersamar. Adapun salah satu penyebab dominan kerusakan tersebut justru berasal dari penyebaran mindset tanpa sandaran yang menjadi kiblat masyarakat kita sekarang ini. Sehingga, disadari atau tidak, hal tersebut akan berdampak pada rusaknya potensi para perempuan untuk berkembang di berbagai lini dan bidang kehidupan. Contoh terdekat dapat kita temukan pada ranah pendidikan.

Kenyataannya masyarakat kita masih saja memiliki anggapan bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Cukup sekedar bisa membaca dan menulis, tak buta huruf tepatnya, maka dianggap sudah memadai. Buat apa pendidikan diberikan terlalu tinggi jika ujung-ujungnya para perempuan harus berakhir di 3-ur (dapur, kasur, dan sumur).

Cukup miris memang, terutama ketika fenomena pelarangan kemajuan pendidikan bagi perempuan mampu tersamar dengan dalih ketidakbutuhan yang dianggap wajar. Pola pikir semacam itu benar-benar tidak sejalan dengan UU RI BAB XV tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan, pasal 54 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam ranah pendidikan, baik yang bersifat perorangan maupun oraganisasi dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan. Sehingga sumber pendidikan yang berasal dari masyarakat bisa dikembangkan dan hasilnya juga dapat digunakan secara bersama-sama. Jika diperhatikan secara seksama, sama sekali tidak ada petikan khusus pada pasal tersebut yang menyatakan bahwa hak pendidikan tak dimiliki oleh para perempuan, karena sesungguhnya semua orang dianggap setara di mata hukum.

Sejalan dengan dukungan pemerintah, pada dasarnya ajaran Islam juga sepenuhnya telah mendukung perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Dalam catatan Imam Bukhari, isteri Nabi Muhammad SAW yaitu Aisyah binti Abi Bakar r.a pernah memuji para perempuan Anshar yang selalu belajar: "Perempuan terbaik adalah mereka yang dari Anshar, mereka tidak pernah malu untuk selalu belajar agama" (Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasâ'i, lihat: Ibn al-Atsîr, juz VIII, hal. 196, nomor hadis: 5352 ).

Lihatlah, betapa Islam sepenuhnya mendukung pendidikan terbaik untuk para perempuan, bahkan sejak berabad-abad silam. Terlebih lagi pemerintah sendiri melalui perundangannya juga telah memperlihatkan dukungan penuh terhadap pendidikan perempuan. Moh. Hatta pernah menyatakan bahwa pendidikan perempuan sangatlah penting. Berikut kalimat yang Beliau utarakan: “Jika kamu mendidik satu laki-laki, maka kamu mendidik satu orang. Namun, jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi.” (Moh. Hatta, mengutip Brigham Young)

Kembali kepada fenomena mindset masyarakat kita saat ini yang menyebutkan perempuan tidaklah perlu menempuh pendidikan tinggi, sebenarnya pernyataan tersebut mempunyai pijakan dan landasan apa? Hukumkah? Bagaimana bisa modus ketidakbutuhan mencegah perempuan untuk menggapai pendidikan yang lebih layak? Selain itu, jika ditinjau lebih mendalam, adakah kita temukan sepenggal ayat ataupun hadist yang membedakan kebutuhan ilmu pengetahuan berdasarkan gender?

Dalam Al-qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11, Allah menyatakan bahwasannya orang-orang yang beriman dan berilmu akan dimuliakan beberapa derajat dari mereka yang tidak. Ayat tersebut jelas menyatakan bahwa semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan, yang mencari ilmu karena-Nya akan mendapatkan posisi yang mulia di sisi Allah ‘azawajala.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah para perempuan juga tidak butuh untuk sekedar menjadi mulia di depan sang Khalik? Apakah mereka tidak perlu menuntut ilmu yang lebih banyak agar kelak derajat kemulian mampu mereka gapai? Maka sesungguhnya tanpa memiliki sandaran kuat apapun, kata ketidakbutuhan pendidikan terhadap perempuan terkesan sangat klise dan terlalu mengada-ada.

Selanjutnya, jika sejenak kita diberi kesempatan untuk menerawang sejarah para perempuan di masa silam. Cut Nyak Dien, Cut Mutia, dan Kemala Hayati, yang merupakan segelintir pejuang perempuan yang tidak hanya cerdas dan piawai dalam berbagai hal, bahkan mereka juga mampu berdiri tegap sebagai komandan pasukan perang tanpa gentar. Adapun fenomena perempuan Aceh zaman sekarang yang tumbuh dalam kedamaian, hidup berkecukupan dengan fasilitas yang serba mudah. Hanya mampu menempuh pendidikan yang pas-pasan? Sungguh miris rasanya.

Oleh sebab itu, mari bersama-sama kita benahi segala kesalahpahaman yang telah mendarah daging di kalangan masyarakat kita tercinta. Sudah saatnya para perempuan di seluruh pelosok negeri untuk segera bangkit dari keterlelapan buaian kebodohan. Saatnya para perempuan untuk menciptakan berbagai prestasi, dengan tetap berpegang pada asas budi pekerti luhur dan akhlakul karimah yang terus subur serta tak lupa untuk mempertahankan kondratnya sebagai perempuan yang mulia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu’alam.[]




Dipublikasikan dalam Majalah POTRET Ed.66 Tahun X (Laman Sketsa)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perempuan Tidak Butuh Pendidikan Tinggi. Kata Siapa?"

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)