Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 2


~Hari Ke-2 Lasenas 2018~

Hari yang ditunggu pun tiba. Yeay, saatnya lawatan.
Namun wajah para peserta saat itu tampak lesu. Mungkin efek dari tidur kemalaman dan bangun kepagian. Kepagian? Iya, pukul 04.00 WIB. Di Aceh, jam segitu masih bisa salat Tahajjut. Mungkin panitia belum paham bahwa matahari di Aceh telat 1 jam dibanding Pusat. Waktu salat pun jadi lebih telat dibandingkan Jakarta. Hebohnya lagi, bukan sekadar bangun terlalu pagi, akan tetapi proses bangunnya itu lho yang cetar membahana badai. Peserta Lasenas 2018 dibangunkan menggunakan sirene TOA. Beberapa orang peserta asal Aceh pun sempat lari terbirit-birit. Seperti yang saya utarakan sebelumnya, tempat tinggal peserta Lasenas selama lawatan di Banda Aceh dan Aceh Besar adalah Asrama Haji. Gini lho sejarahnya, itu tempat sangat dekat dengan laut. Tahun 2004, saat terjadi tsunami, tempat tersebut terkena dampak tsunami yang sangat parah. Seriusan panitia dari Komunitas Historia Indonesia (KHI) juga pada enggak tau tentang sejarah tsunami Aceh?
  • Lawatan ke Makam Teungku Chik Di Tiro
Hari kedua agenda Lasenas jatuh pada tanggal 28 April 2018. Ini merupakan agenda lawatan pertama. Nah, tempat yang akan dikunjungi di pagi hari nan cerah itu adalah makam pahlawan nasional Teungku Chik di Tiro. Pada kenal kan?



Itu lho, pahlawan yang berhasil memukul mundur penjajah Belanda dengan syair. Maksudnya? Jadi gini. Dulu, saat Belanda sedang begitu gencar mencoba menjajah Aceh, semangat masyarakat sempat surut. Melihat perihal itu, melalui Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil), Teungku Chik di Tiro kembali membangkitkan semangat masyarakat untuk berjuang. Syair tersebut berkisah tentang anjuran bagi ummat Islam (rakyat Aceh) untuk berperang dan melawan kaum kafir (dalam konteks ini penjajah Belanda). Andai  pun saat berjuang mereka tewas maka Allah akan memberi para syuhada tersebut ganjaran berupa surga. Nah, ternyata pengaruh syair tersebut cukup kuat untuk kembali menggerakkan semangat rakyat Aceh. Akhirnya, melalui sastra, Muhammad Saman (nama asli Tgk Chik di Tiro) berhasil mengumpulkan para pejuang dan membentuk Angkatan Perang Sabil. 
 
Nah, sebagai pencinta sastra, saya sungguh bersemangat untuk melawat ke makam tersebut. Saya akhirnya memahami satu hal baru bahwa literasi ternyata berperan penting dalam kemajuan suatu bangsa, bahkan sejak dulu.

 
Sebelum bertolak ke makam, saya dan teman-teman menyadari bahwa kendaraan yang digunakan peserta Lasenas terlalu lebar. Bus-bus tersebut tidak akan muat masuk ke jalan perkampungan menuju makam. Saya menyarankan salah seorang teman yang lebih senior untuk mengabari perihal tersebut kepada panitia. Namun menurut keterangannya, panitia Lasenas 2018 mengatakan bahwa segala hal telah diurus. Baiklah, saya merasa lega karena segala hal terkait lawatan hari ini akan aman dan terkendali.  

Lalu bergeraklah bus kami beriring-iringan menuju tempat lawatan. Perjalanan tersebut memakan cukup banyak waktu karena tempat lawatan terletak di luar kota Banda Aceh yakni kawasan Aceh Besar. Ketika tiba dipersimpangan jalan dan hendak masuk lorong, bus-bus besar pun berhenti. Namun bus kami yang mungil terus berlanjut. Saya bertanya kepada tourguide, "Ada apa?" Awalnya dia tampak bingung, namun setelah celingak-celinguk dari balik jendela bus, dia pun berasumsi. "Sepertinya bus para siswa tidak muat memasuki lorong," jawabnya. Saya me-nah-kan, seperti dugaan. "Jadi, mereka gimana? Dijemput?", tanya saya lagi. "Enggak, jalan kaki", jawabnya. Baiklah, saat itu, saya tidak ingin mengomentari apa-apa.


Tiba di makam, saya menghabiskan waktu berdiskusi dengan beberapa guru. Kami menghabiskan sekitar 20 menit untuk menunggu para peserta. Menurut kabar yang beredar, jarak antara persimpangan ke makam sejauh lebih kurang 2 km. Kemudian, setiba di makam, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok diberi tugas. Beberapa kelompok terlihat mengambil foto dan video, sebagian lainnya mendengarkan penuturan penjaga makam dan ada juga yang duduk berdiskusi. Menurut saya, waktu yang dihabiskan peserta untuk melawat makam Tgk Chik di Tiro sangatlah singkat. Justru, peserta lebih lama menghabiskan waktu untuk bolak-balik dari simpang ke makam dengan berjalan kaki. Hal lainnya yang cukup disayangkan adalah, saat lawatan paserta Lasenas ke makam Teungku Chik di Tiro, tidak ada momen khusus untuk melantunkan doa bersama untuk pahlawan nasional ini.

  • Lawatan ke Masjid Tua Indrapuri
Selepas dari makam, kami melanjutkan perjalanan menuju sebuah masjid tua di kawasan Indrapuri. Masjid tersebut dikenal dengan nama masjid Jami' Indrapuri. Masjid tersebut dibangun di atas bekas candi. Walau sudah menjadi rumah ibadat orang Islam, kita masih dapat melihat ciri khas peninggalan Hindu yang tercermin pada dinding tembok masjid yang kokoh dan bentuk atapnya yang berundak-undak. 


Saat peserta Lasenas tiba di pekarangan masjid, mereka diberi pengarahan terkait sejarah masjid tua tersebut. Kemudian para peserta bergerak menfoto dan menvideokan masjid. Sebagian peserta Lasenas ada yang memanfaatkan momen ini untuk mengerjakan salat sunat Tahiyyatul Masjid  dan Duha. 


  • Lawatan ke Makam Nasional Teuku Nyak Arief

Menurut agenda yang tertera, selepas dari masjid Indrapuri, peserta Lasenas akan mengunjungi makam pahlawan nasional Teuku Nyak Arief. Namun entah karena panitia lupa atau terbatasnya waktu, maka tak ada lawatan ke makam tersebut.


  • Lawatan ke Museum Negeri Aceh

Hari menjelang siang, tibalah peserta Lasenas 2018 di Museum Negeri Aceh. Hari itu cuaca sangat terik. Seluruh tubuh terasa meleleh. Syukur kawasan museum Aceh banyak ditumbuhi pepohonan rindang. Sontak para peserta buru-buru berteduh. Saat saya perhatikan, sebelum kedatangan kami, museum Aceh sudah dipenuhi oleh pengunjung lainnya. Ada satu dua kelompok keluarga, namun lebih didominasi oleh peserta inti bangsa. Eh, jumpa lagi, panitianya sehati sekali.

Nah, sebelum jalan-jalan mengitari museum, para peserta sesaat diberi jeda waktu untuk makan siang. Menurut saya, cukup menyenangkan melakukan aktivitas makan bersama di alam terbuka. Rasanya seperti bertamasya. Sejurus kemudian, selesai makan,  saya melihat beberapa siswa langsung berwudu dan menunaikan salat Zuhur di sebuah mushala mini, di samping rumah Aceh. Mushala tersebut mirip rumah panggung tanpa dinding, seperti balai pengajian di kampung-kampung provinsi Aceh. Masalahnya adalah mushala tersebut hanya mampu menampung 25-30 orang sekali salam. Sedangkan jumlah peserta muslim cukup ramai dan waktu istirahat pun tergolong singkat. Maka berlomba-lombalah para pria mengambil tempat untuk segera salat. Mulai dari yang mengantre baik-baik hingga ada yang berinisiatif memanjat dinding mushala, demi memperoleh shaf kosong. 



Saya menghampiri panitia untuk memberi saran agar peserta Lasenas dibawa ke masjid terdekat; misalnya masjid Raya atau masjid pedopo Gubernur. Panitia bergeming dan berkata tidak bisa. Pasalnya karena waktu yang terbatas jadi peserta harus segera berkumpul. "Tapi banyak yang belum salat, kan?," saya menyela. "Dijama' aja, mbak", sarannya. "Gak bisa, kami bukan musafir," saya memperjelas duduk perkara persoalan sembari minta izin untuk beranjak ke masjid terdekat. Sebelum bergerak, saya meminta nomor salah seorang panitia dengan maksud agar panitia dapat mengabari jika bus terlanjur jalan duluan. Tak masalah bagi saya jika memang harus memesan kendaraan online,  yang penting kewajiban salat dapat ditunaikan.  Nah, karena telah memutuskan untuk ke masjid, saya dan beberapa orang teman pun berpisah dari rombongan lawatan yang bergerak mengunjungi kuburan sultan Iskandar Muda dan para raja di sekitar museum. Sehingga bisa dikatakan, pada hari itu, saya kehilangan momen untuk meraup informasi terkait makam-makam tersebut.
  • Lawatan ke Makam Sultan dan Raja-raja


Walau kali itu tak sempat mengikuti seluruh prosesi lawatan makam bersama peserta Lasenas, namun lawatan tersebut bukan kali pertama saya lakukan. Menurut penuturan para ahli sejarah, saat saya berkunjung beberapa waktu sebelumnya, terdapat kisah menarik terkait makam Sultan Iskandar Muda. Konon katanya, demi melindungi jasad Sultan, para sejarawan percaya bahwa Iskandar Muda punya 7 buah makam yang terletak di berbagai wilayah Aceh. Namun hampir tak ada orang yang tahu pasti di makam mana jasad Sultan Iskandar Muda sesungguhnya bersemayam. 

Saat mendengarkan kisah tersebut, saya langsung membayangkan Voldemork di serial Harry Potter yang menyembunyikan 7 horcrux-nya di beberapa tempat berbeda agar tak ada musuh yang dapat membunuhnya.



  • Lawatan ke Museum Tsunami

Menjelang Ashar, perjalanan pun dilanjutkan menuju museum tsunami. Museum Tsunami Aceh dibangun untuk mengenang betapa dahsyatnya musibah tsunami yang melanda Aceh pada 2004 silam. Selain itu, museum ini juga berfungsi sebagai pusat edukasi sekaligus pusat evakuasi jika sewaktu-waktu bencana tsunami datang kembali. Museum ini mencerminkan nilai Hablumminallah (hubungan manusia dan Allah) dan Hablumminannas (hubungan manusia dengan alam semesta). Bangunan megah rancangan Ridwan Kamil tersebut telah menjadi icon sejarah sekaligus pariwisata kota Banda Aceh.
Space of Fear
Saat peserta melangkahkan kaki ke space of fear, jalan masuk museum yang berupa lorong sempit dan gelap, seketika semua bungkam dan seakan menahan nafas. Menurut keterangan penelitian seorang teman lulusan Inggris yang mempelajari psikologi, museum tsunami tidak ramah korban. Menurutnya, suasana dan desain museum mampu membangkitkan kembali trauma masa lalu korban dalam bencana dahsyat tsunami. Saya tidak bisa menolak namun bersetuju dengan pendapat tersebut. Terkadang saya masih merasakan segelintir trauma setiap kali berkunjung ke tempat ini. Namun, semakin ngeri perasaan yang saya alami, semakin kerap saya kembali ke museum. Kini, sebagai mantan korban tsunami, saya telah belajar bertoleransi dengan trauma masa lalu. Mungkin saja museum ini tidak ramah korban namun sangat ramah pembelajaran. Darinya saya belajar menyembuhkan diri dan mencoba menggenggam harapan baru. Karena Allah telah memberikan kesempatan untuk hidup sekali lagi, maka saya harus menjalani kehidupan yang berarti.
  •  Lawatan ke Monumen Pesawat Seulawah RI 001
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah asal mula terbentuknya Garuda Indonesia diprakarsai oleh sumbangan masyarakat Aceh. Sampai kini saya masih kerap bertanya-tanya sendiri, bagaimana bisa indatu  (nenek moyang) orang Aceh punya hati sepemurah dan seiklash itu dalam mendukung bangsa. Banyak dari mereka yang berjuang dan menyumbang lalu hilang namanya ditelan zaman. Mereka tidak mencitrai diri demi perolehan puja puji. Cukup Allah yang tahu dan mencatat. Dengan prilaku seperti itu, saya meyakini bahwa pastinya banyak pejuang nusantara lainnya dari berbagai provinsi di Indonesia yang melakukan hal yang sama. Berjuang dengan tulus dan akhirnya terlupa.


Oleh sebab itu ketika ada orang yang berasumsi bahwa orang tua Nyak Sandang menyumbang uang untuk membeli pesawat RI 001 agar anaknya bisa meminta sesuatu kepada negara di kemudian hari, membuat saya miris. Mereka yang berkata demikian pastinya hanya mempelajari sejarah sekadar saja. Bahkan lebih parah, ada yang menggunakan sejarah hanya untuk sekadar meraup keuntungan. Sungguh, sejarah dipelajari untuk memahami sudut pandang, mempelajari pengalaman, berempati dan menjadi bijaksana. Sehingga tuduhan tak berdalih semacam itu sangat disayangkan. Semoga para muda-mudi Lasenas yang telah mempelajari sejarah bangsa menjadi pribadi yang luhur budi dan baik hati. Sehingga kelak mereka mampu menjadi pemimpin-pemimpin jujur, cerdas dan bermartabat dalam memperjuangkan bangsa.
  • Lawatan ke Masjid Raya Baiturrahman
Sudah mengabadikan momen di depan masjid Raya Baiturrahman? Selamat. Itu artinya kamu sudah sah ke Aceh. Demikianlah sebentuk guyonan yang kerap dilontarkan oleh orang Aceh kepada para pelancong. Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu mesjid tua yang dibangun di Banda Aceh. Awalnya, rancangan masjid ini mirip dengan masjid Indrapuri. Namun, ketika terjadi pertempuran, masjid ini terbakar. Setelah itu, masjid tersebut dibangun kembali dengan menggunakan desain berbentuk kubah. Masjid Raya merupakan salah satu saksi mata berhasilnya para pejuang Aceh memukul mundur penjajah Belanda. Akhirnya, hari itu, lawatan kami selesai di Masjid Raya. Ketika jam menunjukkan pukul 18.45 WIB, peserta Lasenas pun bersiap-siap kembali ke Asrama.
  • Seminar Kesejarahan
Selepas mandi dan menunaikan salat Magrib, para peserta Lasenas 2018 kembali berkumpul untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. Pada rencana awal, terdapat agenda makan malam bersama Walikota Banda Aceh. Namun sepertinya kegiatan tersebut dibatalkan seiring diserahkannya nasi kotak untuk menu makan malam. Selepas makan malam, para peserta menghabiskan masa dengan bercakap-cakap sembari menunggu dimulainya acara Seminar Kesejarahan. Akhirnya, walau agak terlambat, seminar tersebut pun dimulai hingga selesai. Dengan berakhirnya seminar tersebut maka berakhir pula kegiatan untuk agenda Lasenas di hari kedua. InsyaAllah pemaparan tentang kegiatan seminar akan saya tuliskan di artikel lainnya ya.


Pelajaran Hidup Hari ke-2 Lasenas 2018
  • Di Aceh, penggunaan bunyi sirene tidak boleh sembarangan, karena itu pertanda tsunami.
  • Sehebat apa pun kita, belajarlah untuk terbiasa menerima nasihat yang baik.
  • Seraplah ilmu dari setiap orang karena setiap orang tahu sesuatu yang tidak kita ketahui
  • Kebijaksanaan dimulai dari mendengarkan
  • Lawatan itu banyak jalannya, sediakan koyok jika tak ingin encok.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 2"

  1. Saran yang mantap kak. Aku suka gaya loe. 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... terima kasih. Ini saran yang keluar dari runyamnya pengalaman. Agar ke depannya kita bisa menjadi manusia yang lebih baik.

      Hapus

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!


(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)